logo Kompas.id
MetropolitanMinim, Kepedulian pada Anak
Iklan

Minim, Kepedulian pada Anak

Oleh
· 4 menit baca

JAKARTA, KOMPAS — Masih banyaknya kasus kekerasan seksual yang menimpa anak-anak memperlihatkan banyaknya pihak yang tidak peduli dan peka terhadap keberadaan anak. Anak-anak yang menjadi korban kekerasan pun kerap kali masih disalahkan dan mendapat stigma negatif.BL (16), anak perempuan dari Cikeusik, Pandeglang, Banten, misalnya, sempat dituntut 8,5 tahun penjara oleh jaksa karena didakwa melukai bayinya hingga meninggal. Padahal, BL merupa-kan korban pemerkosaan pada Juli 2016 sehingga kemudian hamil. BL tidak tahu bahwa ia hamil. Keluarganya sempat memeriksakan ke dokter, tetapi dokter mendiagnosis BL sakit mag. Hingga April 2017, tidak ada perubahan pada tubuhnya dan BL pun bekerja sebagai pekerja rumah tangga di Jakarta. Sebulan kemudian, ia sakit luar biasa pada perutnya dan kemudian melahirkan di kamar mandi. Saat itu, yang dilihatnya adalah gumpalan. Ia pun membungkus gumpalan itu dalam kantong plastik dan membuangnya ke tempat sampah. Petugas kebersihan menemukan jasad bayi itu dan BL pun terjerat hingga disidangkan di PN Jakarta Selatan.Majelis hakim yang terdiri dari Fahima Basyir, Martin Ponto, dan Rusdianto, Senin (24/7), membebaskan BL dari hukuman meski BL ditetapkan bersalah. Hakim menilai, BL adalah korban pemerkosaan dan korban kemiskinan. BL melahirkan bayi yang tidak diduganya. BL juga mendapat tekanan batin dan trauma."Kasus ini memperlihatkan betapa masih banyak dari kita yang tidak peduli dan tidak peka terhadap anak. Dalam banyak kasus, orang dewasa bahkan tidak berpihak pada anak, yang mungkin mencoba mencari pertolongan dari kekerasan yang dialami-nya," ujar Siti Aminah, pengawas LBH APIK Jakarta, Senin (31/7).Dilingkupi mitosAmi mengatakan, ketidakpekaan orang dewasa di sekitar anak tidak dapat dilepaskan dari mitos terkait kekerasan seksual, antara lain pemerkosaan dilakukan oleh orang asing, di tempat sepi, atau pada malam hari. Hal ini membuat orang dewasa abai dan tidak waspada bahwa pemerkosaan dilakukan oleh orang terdekat, bahkan di rumah."Bahkan, ada mitos yang mengatakan bahwa perempuan menginginkan diperkosa. Ini menyebabkan korban justru menjadi pihak yang dipersalahkan dan mendapat label negatif. Hal ini menyebabkan anak perempuan tidak terbuka atau cukup percaya ia akan mendapat keadilan jika ia menceritakan kekerasan seksual yang dialaminya," ujar Ami.Kasus terakhir, di Serpong, Kota Tangsel, IN (17) diperkosa oleh ayahnya sendiri, N (41), selama tiga tahun terakhir hingga melahirkan dua anak. Di Pondok Aren, PA (10) diperkosa ayah tirinya, JS (31).Korban yang memilih diam itu terjadi pada ketiga kasus tersebut. BL tidak menceritakan kepada orangtuanya ketika ia mendapat kekerasan seksual dari seorang pemuda di lingkungan tempat tinggalnya. IN selama tiga tahun terakhir juga diam, demikian juga PA yang baru menceritakan hal buruk itu kepada ibunya setelah lima bulan."Terlebih pada kasus kekerasan seksual yang dilakukan ayah sendiri. Pada anak yang usianya masih kecil, atau belum mengerti mengenai kesehatan reproduksi, ia akan mengalami kebingungan, apakah yang dilakukan ayahnya adalah kekerasan seksual atau ekspresi kasih sayang. Pada perempuan yang lebih besar, ia harus menanggung beban tidak menceritakan kepada ibunya karena takut ayah ibunya bercerai atau karena ketergantungan ekonomi," ujar Ami.Lebih dari itu, kepekaan dan kepedulian pada anak harus dibangun, termasuk para penegak hukum. Pada kasus BL, dokter pun tidak peka, tidak menyarankan BL untuk melakukan tes urine, misalnya. Pada kasus lain yang juga ditangani LBH APIK, dokter malah mendiagnosis usus buntu pada anak yang hamil.Pengacara dari LBH APIK yang menangani kasus BL, Siti Zuma, mengatakan, pihaknya mengapresiasi putusan hakim yang menolak tuntutan jaksa. Saat ini, BL dalam perlindungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Adapun orang yang memerkosa BL saat ini sudah ditahan oleh Polres Pandeglang. Zuma mengatakan, kasus seperti yang dialami BL sangat mungkin terjadi di banyak tempat, tetapi tidak terpantau. Anak-anak yang menjadi korban harus menjadi perhatian."Dari pemeriksaan psikiater, BL mengalami gangguan kejiwaan akibat kekerasan seksual yang dialaminya. Anak-anak yang mengalami hal serupa sudah seharusnya mendapatkan rehabilitasi, bukan justru dihukum," tutur Zuma. (UTI)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000