Di Jakarta itu apa saja jadi duit dan bisa diduitin. Jargon tersebut sudah lama dikenal warga Ibu Kota. Asal mau berusaha, katanya, pasti dapat duit. Maka, berbondong- bondonglah orang ke Jakarta mencari nafkah dan menjadikan apa saja menjadi duit.
Lalu, terciptalah "profesi" yang mungkin tiada duanya, yaitu "Polisi Cepek" alias "Pak Ogah". Mereka bukan polisi. Kemungkinan besar sebutan itu berdasarkan pada sosok Pak Ogah, tokoh boneka dalam serial televisi Si Unyil yang ditayangkan di TVRI pada 1981-1993.
Dalam serial panjang itu, Pak Ogah mewakili sosok pengangguran. "Pak, cepek, Pak?" pintanya kepada siapa saja yang lewat atau bertanya kepadanya. Cepek alias seratus rupiah, pada masa itu, jumlah yang tidak kecil.
Belakangan, cepek disematkan kepada mereka yang "mengatur" lalu lintas di jalanan Ibu Kota dan daerah lain. Saat beroperasi bisa sendirian atau berkelompok. Tak melulu laki-laki, bisa juga perempuan, seperti terlihat di Jalan Asia Afrika, Senayan, Jakarta Pusat. Mereka bisa ditemui di mana saja, terutama di wilayah rawan macet: mulut gang atau jalan masuk permukiman, putaran jalan, pertigaan, dan perempatan.
"Profesi" itu lumayan menghasilkan. Setiap Pak Ogah atau Polisi Cepek dalam beberapa jam beroperasi bisa menghasilkan puluhan hingga seratusan ribu rupiah. Tak heran jika di sejumlah lokasi mereka menerapkan sistem bergilir (shift) dari pagi hingga malam hari.
Walaupun tak memaksa, banyak juga yang cemberut jika pengguna jalan tidak memberinya uang. Apakah mereka membantu mengatur lalu lintas? Tergantung. Di sejumlah lokasi, kehadirannya malah memacetkan lalu lintas. Lalu lintas macet dan semrawut membuat mereka merasa dibutuhkan.
Tips agar pengguna jalan diprioritaskan saat macet, bukalah jendela dan iming-imingi uang. Mereka dengan sukarela akan "pasang badan" menghalangi mobil lain. Mereka yang berduit selalu dapat keistimewaan. Sekilas mirip potret negeri ini. Tidak jarang mereka juga membuka arus di lokasi-lokasi yang sebenarnya terlarang untuk memutar.
Baru-baru ini diberitakan, Polda Metro Jaya sedang mendata jumlah dan lokasi sukarelawan pengatur lalu lintas (supeltas). Mereka dianggap diperlukan mengurai kemacetan Jakarta. Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Halim Pagarra mengatakan, para supeltas itu bukanlah Pak Ogah. Namun, memang diakuinya kemudian ada pertanyaan kenapa tidak sekalian memberdayakan Pak Ogah menjadi supeltas.
Supeltas yang diperkirakan ribuan orang akan dilatih khusus cara mengatur lalu lintas oleh polisi. Mereka akan mengenakan rompi dan bekerja dengan sistem giliran. Soal honor dan pendanaan akan diatur berdasarkan kesepakatan bersama Pemprov DKI, donatur tetap, dan Ditlantas Polda Metro Jaya.
Namun, masalah Polisi Cepek, Pak Ogah, atau supeltas ini sebenarnya bukan melulu itu. Mereka muncul lebih karena ketidaktaatan dan ketidaktertiban para pengendara di jalanan yang main serobot, tidak mau antre, ditambah infrastruktur jalan dan manajemen lalu lintas yang belum memadai.