Menambal Bolong di Trotoar Kota Bogor
Pusat Kota Bogor, khususnya seputar Kebun Raya Bogor mulai berubah. Perubahan itu terkait trotoar. Fasilitas pejalan kaki membaik meskipun belum sempurna.
Wali Kota Bogor Bima Arya, Selasa (5/9), mengatakan, total trotoar yang sudah dibenahi dalam tiga tahun terakhir sekitar 30.000 meter persegi.
Bima menambahkan, pembangun trotoar juga menerapkan SNI (Standar Nasional Indonesia). Ia menargetkan Kota Bogor sebagai City of Runner, dengan trotoar yang memadai.
Sesuai SNI, setidaknya trotoar memiliki dimensi yang tepat dan ramah bagi difabel. Artinya, minimal lebar trotoar dua meter di kawasan perkantoran, industri, sekolah, perbelanjaan, dan terminal/halte bus.
Trotoar juga dibangun dengan permukaan kasar atau lantai bertanda khusus yang memudahkan difabel mengakses trotoar.
Serampangan
Rata-rata trotoar yang selesai dibangun memiliki lebar minimal dua meter. Hanya saja, guiding block atau lantai pemandu bagi tunanetra, belum dipasang sesuai standar.
Di Jalan Kapten Muslihat, khususnya jalur ke arah Stasiun Bogor, misalnya, guiding block tanda jalan lurus dipasang menabrak-nabrak patok. Sedangkan tanda peringatan berhenti karena ada persimpangan atau penghalang jalan, malah dipasang selayaknya dekorasi lantai.
Selain itu, patok penghalang kendaraan bermotor terpasang serampangan. Batu blok di bawah jembatan penyeberangan orang dan jalan masuk ke Stasiun Bogor juga rusak akibat lis penahannya hancur. Jangankan buat warga yang berkebutuhan khusus, kaki warga kebanyakan pun rawan keseleo.
Di dalam stasiun, jalur guiding block juga tidak layak. Jika tidak memosisikan tongkat penuntun di tangan kiri, tunanetra bakal menabrak papan-papan reklame yang dipasang rendah, sebab jalur guiding block tidak sampai 50 cm dari tiang papan reklame itu.
Trotoar di jalan menuju stasiun itu juga banyak digunakan pedagang kaki lima. Sementara, dua pos yang dibuat dari bekas kontainer di kawasan itu, kumuh berkarat. Sesekali, Kompas melihat, pos itu dijadikan tempat nyaman "mengobrol" antara aparat dengan pengendara motor, sopir angkutan umum, atau pedagang.
Jalur lalu lalang orang dan kendaraan di situ memang ruwet. Upaya memperbaiki lalu lintas di sini terkesan tanggung. Di sini, tidak ada zebra cross dan trotoar di tikungan itu terputus karena terhalang dengan kontainer pos aparat.
Pembatas jalan juga terpasang tanggung, tidak menutup total U-turn tepat di depan Gedung DPRD. Padahal tidak jauh dari situ, ada U-turn.
Walaupun ada larangan putar balik di depan DPRD, pengendara kerap melanggar sehingga menghambat arus lalu lintas. Tersendatnya lalu lintas dimanfaatkan pejalan kaki untuk menyebrang jalan seenaknya pula.
Belum lagi ruwetnya keluar masuk kendaraan di sekitar lokasi ini.
Ruang interaksi
Ketua Koalisi Pejalan Kaki Bogor Irna Kusumawati mengatakan, kebijakan Pemko Bogor membangun trotoar dan taman terbuka, sudah tepat. Sebab, interaksi sejati antarwarga kota ada di situ, bukan di mal atau di kendaraan pribadi.
"Yang harus kita dorong sekarang adalah kekonsistenan membangun dan memelihara. Juga, jangan asal membangun, yang akhirnya buang-buang anggaran," katanya.
Irna menduga, pengawasan dan anggaran untuk pemeliharaan trotoar sangat kecil sehingga trotoar kembali rusak atau diokupasi PKL.
Pengamat tata kota dari Pusat Pengkajian Perencanaan dan pengembangan Wilayah (P4W) Institut Pertanian Bogor, Dr Ernan Rustiadi, mengatakan, berpendapat, trotoar adalah kebutuhan dasar bagi warga yang wajib disediakan pemerintahan, namun banyak dilalaikan kepala daerah. Ada kecenderungan, pemerintah daerah menganggap pembangunan infrastruktur jalan bagi kendaraaan sebagai yang terpenting.
Padahal, pembangunan infrastruktur bagi pejalan kaki juga tak kalah penting, "Membangun interaksi sosial dan kesetaraan itu ada di jalur pergerakan pejalan kaki, taman terbuka, dan ruang publik, bukan di jalur pergerakan kendaraan atau pusat perdagangan," ucapnya.
Di jalanan, kendaraan pribadi, maupun di mal, masih ada stata sosial yang membuat interaksi sosial warga terbatas. Kelas warga dibagi berdasarkan jenis kendaraan yang digunakan, atau jenis barang yang dibeli. "Di jalur pejalan kaki dan taman publik, stata sosial tidak terlihat. Semua sama tanpa hiraki," tutur Ernan.
Saat ini, lanjutnya, kesadaran warga untuk menuntut hak dasarnya sebagai warga kota sudah mulai tumbuh. Ini harus dimanfatkan maksimal oleh para kepala daerah atau pemda untuk membangun fasilitas pejalan kaki dan taman atau ruang publik.
Keterbatasan lahan jangan dijadikan alasan, sebab kepala daerah memang harus kreatif. Membangun jalur pejalan kaki tidak harus di atas tanah dan di samping jalan raya, tetapi juga bisa sky walk atau under pass.
"Jalan-jalan perkampungan juga bisa dijadikan jalur pejalan kaki yang berfumgsi juga sebagai jalan tembus atau memotong. Jadi, membangun jalur pejalan kaki itu tidak harus berebut dengan badan jalan kendaraan," katanya.
Yang juga tidak kalah penting, membangun trotoar atau jalur pejalan kaki harus memenuhi kaidah estetika. Sehingga, trotoar tidak malah kelihatan kumuh dan sumpek, akibat berbagai ornamen dipaksakan terpasang.
Ernan yakin, membangun jalur pejalan kaki tidak akan sia-sia. Sebab, di situ juga ada dimensi sosial serta interaksi sosial antarwarga. Kekonsistenan pemda membangun dan memeliharanya, sangat diharapkan.