"Melarang lima juta lebih pemakai sepeda motor menggunakan poros-poros utama lalu lintas di DKI tak kurang merupakan pernyataan perang terhadap masyarakatnya yang sederhana."
Demikian dikemukakan Guru Besar Emeritus Sekolah Tinggi Ilmu Filsafat Driyarkara Franz Magnis-Suseno dalam tulisannya "Perang Melawan Rakyat" (Opinihalaman 6, Kompas 6/9). Romo yang dikenal sehari-hari menggunakan skuter Vespa jadul itu mengulang kritiknya terhadap kebijakan pelarangan sepeda motor beroperasi di Jalan Sudirman yang akan diberlakukan Pemprov DKI Jakarta.
Sepuluh tahun lalu, harian Kompas memuat tulisannya dengan judul sama. "Waktu itu, Pemerintah DKI mau menutup beberapa jalan penting bagi sepeda motor, tetapi tidak jadi," katanya.
Kali ini pun Pemprov DKI tersengat dengan opini budayawan tersebut. Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat menunda pembatasan sepeda motor di jalan protokol Jakarta. "Ditunda sampai infrastruktur transportasi siap," katanya.
Dia mengakui pembatalan rencana tersebut karena pihaknya mendengar protes warga yang menilai kebijakan pembatasan itu diskriminatif. Terlebih ada rencana dari 5.000 pesepeda motor Road Safety Association, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, dan Jarak Aman yang mengancam akan beraksi jika kebijakan itu dilaksanakan, Sabtu (9/9). "Setelah pembangunan MRT, terowongan, dan jalan layang selesai setelah itu baru dievaluasi apakah perlu ada perluasan pembatasan roda dua dan roda empat," kata Djarot.
Membanjirnya kendaraan bermotor di Jakarta juga di sejumlah daerah tidak terlepas dari kepentingan industri otomotif. Semua saling terkait kepentingan. Jumlah sepeda motor baru di Jakarta mencapai 4.500 unit per hari. Belum lagi jumlah mobil baru yang mencapai 1.600 unit per hari.
Benar seperti dikatakan Romo Magnis bahwa kemacetan bukan melulu disebabkan oleh sepeda motor. Benar bahwa sistem transportasi publik masih jauh dari sempurna meski sudah ada kemajuan signifikan.
Namun, kepemilikan dan penggunaan kendaraan roda dua juga demikian masif. Sudah lazim jika sebuah keluarga memiliki dua-tiga sepeda motor. Anak di bawah umur pun terbiasa bersepeda motor. Orang pergi berbelanja di toko atau pasar berjarak kurang 1 kilometer dari rumah dengan sepeda motor.
Tidak heran jika orang Indonesia didaulat sebagai paling malas berjalan kaki di seluruh jagat raya seperti temuan para peneliti Universitas Stanford, Amerika Serikat. Juga seperti diwartakan Kompas (8/9), berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2013, prevalensi kurang aktivitas fisik tertinggi dialami penduduk DKI Jakarta 44,2 persen dibandingkan penduduk daerah lainnya.
Menuju Jakarta yang nyaman memerlukan ketegasan, perencanaan kota, dan kebijakan matang untuk dilaksanakan. Jika kebijakannya masih seperti lirik lagu dangdut "Kegagalan Cinta" -"kau yang mulai, kau yang mengakhiri"-repot juga. Pemerintahan yang kuat dan disegani tidak bisa dijalankan dengan kebijakan pagi kedelai, sore tempe.