Rumah bukan hanya dinding dan atap. Hunian layak adalah hak asasi manusia yang melekat pada hak hidup. Namun, kini rumah menjadi komoditas, akumulasi kekayaan. Rumah jauh dari makna aslinya sebagai hunian manusia, tempat hidup bermartabat, berkeluarga, dan hidup bersama dalam satu komunitas.
Saat ini saja, Perserikatan Bangsa-Bangsa mencatat, nilai proyek perumahan real estat mencapai 163 triliun dollar AS. Angka itu melebihi dua kali lipat nilai barang dan jasa (gross domestic product/GDP) yang diproduksi dunia.
Kalimat-kalimat itu dilontarkan Leilani Farha, pelapor khusus PBB untuk hunian layak saat berceramah di Goethe Haus, Selasa (19/9). Kalimat-kalimat yang membuat kembali berpikir bagaimana seharusnya hunian layak diwujudkan bagi semua.
Di Indonesia, soal hunian layak bagi semua yang identik dengan kesejahteraan bukan hal baru. Di Undang-Undang Dasar 1945 saja sudah dipastikan negara menjamin kesejahteraan semua rakyatnya. Namun, tidak dimungkiri susahnya mendapat hunian layak bagi si miskin masih terjadi merata di dunia, termasuk di negeri ini. Di kota dan di desa sama saja.
Di kota, yang tak bisa mengakses hunian layak cenderung akrab dengan permukiman kumuh, baik di lahan mereka sendiri alias resmi maupun mengokupasi liar lahan pihak lain. Akses fasilitas air bersih sulit, lingkungan tercemar limbah/sampah. Mereka kian terpinggirkan karena terstigma sebagai sumber kriminalitas dan berbagai masalah sosial.
Padahal, munculnya permukiman kumuh tidak terlepas dari kebijakan pemerintah yang kurang bisa menjangkau mereka. Sepanjang tahun 1950-an hingga pascareformasi, menurut catatan Abidin Kusno dalam bukunya Politik Ekonomi Perumahan Rakyat dan Utopia Jakarta, sudah banyak ditelurkan kebijakan penyediaan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Minimnya uang negara, tidak sinkronnya kebijakan pemerintah pusat dan daerah, hingga program rumah murah yang tidak tepat sasaran—tidak terjangkau juga oleh si miskin, terus berulang. Upaya melibatkan swasta dengan berbagai insentif terbukti belum mempercepat realisasi program hunian layak terjangkau. Justru, swasta cenderung makin menguasai tanah di pusat kota dan mengembangkan real estat mewah. Di setiap era kepemimpinan, kebijakan perumahan rakyat juga cenderung berbeda.
Sebagai solusi, Leilani, yang datang ke Indonesia didapuk Rujak Center for Urban Studies berkolaborasi Sekolah Kajian Ilmu Strategik dan Global Universitas Indonesia, menyatakan sudah saatnya negara mengubah hubungan dengan sektor finansial, mengendalikan penuh swasta, dan mendesak pasar untuk melayani penyediaan hunian murah, baik sewa maupun hak milik.
Di Indonesia, termasuk di Jakarta, pemikiran Leilani sudah dipahami. Hanya saja, pekerjaan rumah besar pemerintah adalah membuat sistem yang tepat guna mendukung dan memastikan kebijakannya efektif. Dan pastinya memastikan kebijakan dan pelaksanaannya dapat bergulir berkesinambungan.