SAJA Mengantarkan Anak Jalanan Main Kabaret
Dalam 16 tahun terakhir, Sekolah dan Sanggar SAJA berdiri di antara rumah-rumah mungil yang saling berimpitan di Penjaringan, Jakarta Utara. Tempat pendidikan ini terus menggandeng anakanak kurang mampu di sekitarnya, mengajak mereka menimba wawasan, hingga mereka sadar bahwa jalanan bukan tempat bagi mereka.
Rumah-rumah sangat sederhana, beberapa di antaranya berbahan kayu dan tripleks, berjejer di Jalan Petak Asem Baru, Kelurahan Penjaringan, di seberang kolong Tol Wiyoto Wiyono yang juga sering disebut Tol Pelabuhan.
Sanggar ini menempati rumah yang sangat sederhana seperti rumah lainnya. Catnya biru muda dan diberi logo Sekolah-Sanggar SAJA.
Kamis (14/9) pagi, 12 anak yang rata-rata berusia 5 tahun sedang belajar mewarnai. Dua anak di antara murid TK A tersebut, Asyhera Zaneta dan Naura Dea Anindya, asyik melihat gambar beragam satwa di buku dan bermain balok susun. Pada saat yang sama, teman-teman yang lain asyik mewarnai. Asyhera dan Naura sudah lebih dulu menyelesaikan tugas mewarnai.
Naura membayangkan balok-balok tersebut adalah barang dagangan yang ia jajakan kepada teman-temannya.
Sementara Asyhera mengambil balok pipih kemudian membayangkan ada layar pada balok tersebut. ”Cekrek,” ucap Asyhera yang rupanya berimajinasi sedang memotret temannya dengan kamera ponsel.
Asyhera, Naura, dan temanteman sekelasnya menikmati pendidikan layaknya anak-anak di TK lain. Bedanya, mereka bersekolah gratis di Sekolah-Sanggar SAJA.
SAJA merupakan akronim dari Sekolah Anak Jalanan yang didirikan pada Oktober 2001 oleh Reinhard Hutabarat (44). ”Tujuan awalnya, semua anak berhak mendapatkan pendidikan di mana pun tempatnya dan apa pun keadaannya,” kata Kak Rendy, begitu anak-anak memanggilnya.
Kependudukan
Kak Rendy menceritakan, awalnya SAJA berdiri di kolong tol sekitar 50 meter dari lokasi sekarang. Sekolah berada di antara rumah-rumah yang ditempati 400-an keluarga kurang mampu. Saat itu kolong tol sebelah Jalan Petak Asem Baru u masih berpenghuni sebelum akhirnya digusur.
Penghuni kolong tol rata-rata bekerja di sektor nonformal. ”Belum ada PAUD (pendidikan anak usia dini) waktu itu dan semua TK berbayar. Orangtua tidak akan bisa membayar uang sekolah, seragam, pendaftaran, uang praktik, dan uang keterampilan. Di situ, kami masuk,” ujar Kak Rendy.
Selain urusan uang, banyak anak usia SD tidak bersekolah lantaran keluarga tidak memiliki kartu keluarga DKI. Parahnya lagi, banyak anak belum memiliki akta kelahiran yang umumnya menjadi syarat masuk sekolah. Kak Rendy terus menyosialisasikan ke orangtua tentang pentingnya administrasi kependudukan bagi keberlanjutan pendidikan anak.
SAJA juga berupaya mencegah anak-anak menjadi anak
jalanan. Jika sudah telanjur, sekolah ini berusaha menarik anak-anak agar berhenti
mengamen, mengelap kaca
mobil, bahkan bertindak
kriminal.
Pada sisi lain, orangtua enggan melepas anak belajar. Selain tidak mendapat tambahan uang dari aktivitas anak di jalanan, para orangtua ragu pendidikan bisa mengubah nasib anak. ”Siapa mau kasih kerja? Orang tinggal di kolong tol,” ucap Kak Rendy menirukan pendapat para orangtua.
Setelah dua tahun, para orangtua mulai sadar dan mau menyekolahkan anak mereka.
Bekali keterampilan
Pada Juli 2007, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menggusur bangunan di kolong tol itu, tidak ketinggalan bangunan sekolah SAJA. Kak Rendy lalu menyewa rumah 8 meter x 4 meter dengan biaya Rp 7,5 juta per tahun serta bangunan 4 meter x 3 meter dengan tarif Rp 1 juta per bulan. Sekolah SAJA punya alamat baru, Jalan Petak Asem Baru Nomor 29 RT 007 RW 005 Penjaringan. Meski begitu, tarif sekolah di sini tetap gratis.
Tempat baru bukan tanpa masalah karena berdiri di atas lahan PT Kereta Api Indonesia. Namun, SAJA bertahan selama warga kurang mampu masih tinggal di sana. Kak Rendy senantiasa menyosialisasikan kepada orangtua murid untuk siap direlokasi sewaktu-waktu.
Dengan berbagai keterbatasan, SAJA yang awalnya memiliki 12 murid pada 2001, kini mengasuh 107 anak. Sebanyak 14 siswa di TK A, 20 siswa TK B, dan selebihnya anak-anak SD yang mengikuti kursus.
Adanya Kartu Jakarta Pintar dari Pemprov DKI membuat SAJA kini hanya menyediakan kursus keterampilan bagi anak usia SD melalui layanan Sanggar SAJA. Kursus itu, antara lain, melukis, bahasa Inggris, dan musik.
SAJA mempertahankan sekolah TK dengan menjalankan kurikulum nasional dan memberikan ijazah bagi murid-muridnya yang lulus.
Sapitri (14), siswi SMP Negeri 32 Jakarta, adalah alumnus TK dan SD SAJA. Ia sempat menikmati kursus gratis seperti latihan angklung, menari, bahasa Inggris, dan matematika. Kursus bahasa Inggris dan matematika dirasakan amat membantu. “Misalnya, ada (materi) yang di sekolah belum diajarkan, di sini sudah,” ujarnya.
Pelan tetapi pasti, semakin banyak alumni SAJA menorehkan pencapaian hidup sederhana, tetapi amat berarti untuk ukuran warga kurang mampu. Kak Rendy mencontohkan, alumnus bernama Marzuki pada 2010 terpilih memerankan Kabayan untuk pertunjukan kabaret di Trans Studio, Bandung.
Sebelumnya, saat SAJA masih berusia tiga tahun, seorang anak didik bernama Nia mendapat juara harapan I dalam lomba mewarnai dan melukis di Goethe-Institut tahun 2004. Padahal, Nia sebelumnya minder karena ia hanya membawa pensil warna sederhana, sedangkan para saingannya dari sekolah-sekolah swasta se-Jabodetabek menggunakan alat-alat lukis lengkap nan mahal.
Kak Rendy menceritakan contoh pencapaian itu kepada anak yang masih belajar di SAJA untuk menunjukkan bahwa mereka punya kesempatan yang sama dengan anak-anak mampu untuk maju. Mereka bisa punya nasib lebih baik ketimbang orangtua mereka dengan pendidikan.
J Galuh Bimantara