Jabodetabek semakin terhubung. Kini bukan jarak rumah ke kantor yang dibicarakan. Waktu tempuh untuk mencapai tempat kerja dari tempat tinggal lebih penting daripada sekadar dekat.
Pilih jarak rumah ke kantor yang hanya 10-15 kilometer tetapi untuk menempuhnya dibutuhkan waktu sejaman karena macet? Atau memilih rumah di pinggiran, dengan jarak 20-25 kilometer, tetapi dengan commuter line hanya membutuhkan waktu 30 menit untuk tiba di tempat kerja. Tentu, jika Anda memilih untuk ”tua di jalan” untuk jarak yang sama, bisa tetap menggunakan kendaraan pribadi dan perlu waktu tempuh 1,5-2 jam untuk jarak yang sama.
Bagi para pekerja pemula—yang baru mulai bekerja—uang untuk membayar indekos di Jakarta lumayan menyedot gaji yang pas-pasan. Sewa kamar indekos yang lumayan manusiawi berkisar Rp 800.000 hingga di atas sejutaan rupiah. Tarif segitu biasanya hanya kamar standar, dengan kamar mandi di luar atau ramai-ramai dengan penghuni indekos lain.
”Saya menyewa barengan sama dua orang teman, jadi sekamar bisa bertiga,” kata seorang pekerja di bilangan Senayan, Jakarta Pusat. Untuk itu, mereka bertiga saweran Rp 350.000 per orang. ”Sisanya untuk membayar token listrik dan air,” katanya.
Langkah itu ditempuh untuk mengirit. Dengan gaji standar upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta Rp 3,4 jutaan, tempat tinggal menjadi salah satu unsur penyedot gaji.
Dengan kondisi seperti itu, saat ini ada tren para pekerja menengah melirik ke tempat indekos di luar Jakarta, terutama di seputar stasiun-stasiun kereta api. Hal itu tidak lepas dari membaiknya pelayanan angkutan kereta rel listrik dengan tarif yang relatif murah dan bebas dari kemacetan. Tidak heran jika iklan-iklan indekos atau rumah kontrakan pun marak.
Bahkan, bukan pemandangan aneh lagi jika di emplasemen stasiun kini semakin sering terlihat banyak orang asing. Mereka bertempat tinggal di luar Jakarta, semisal di kompleks perumahan Bumi Serpong Damai (BSD), Tangerang Selatan, dan bekerja di Jakarta.
Sebuah rumah kontrakan di Tangerang Selatan, misalnya, memasang poster iklan rumah dengan iming-iming ”hanya 8 menit ke Stasiun Rawabuntu”. Kontrakan tiga pintu, masing-masing ada kamar mandi sendiri, itu ditawarkan seharga Rp 530.000 sebulan. Dengan tarif sekitar itu, plus ongkos transportasi (sebut saja) Rawabuntu-Tanah Abang sekitar Rp 6.000 sehari, maka para pekerja Jakarta hanya membutuhkan Rp 700.000-an untuk penginapan dan transportasi. Mereka juga mendapat keuntungan karena rumah atau kamar kontrakan yang relatif lebih nyaman dan luas dibandingkan dengan harga setara untuk Jakarta.
Kebutuhan warga seperti ilustrasi keseharian di atas bisa menjadi dorongan bagi pemerintah untuk mengembangkan permukiman dengan konsep transit oriented development (TOD). Konsep pengembangan kota yang memaksimalkan penggunaan angkutan massal serta jaringan trotoar atau jalur sepeda itu sudah jamak dilaksanakan di sejumlah kota baru di negara maju, seperti Singapura, Seoul, atau Tokyo.