Adu Kuat, Pertarungan Tiada Akhir
Trotoar di Ibu Kota adalah pertarungan. Hingga memasuki usia ke-490 tahun, trotoar di Jakarta tak kunjung memberi kenyamanan, khususnya bagi pejalan kaki.
Trotoar, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia didefinisikan sebagai tempat bagi pejalan kaki bergerak dari satu tempat ke tempat lain, faktanya menjadi sarana pedagang kaki lima (PKL), ojek daring, dan ojek pangkalan menjemput rezeki.
Saking kerasnya pertarungan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pun menggelar bulan tertib trotoar (BTT) di 155 titik trotoar di Jakarta. Sudah dua bulan program ini berjalan. Tujuannya mengembalikan hak pejalan kaki.
Dua bulan gelaran BTT, Dinas Perhubungan DKI mencatat, mulai 1 Agustus hingga 28 September 2017, kendaraan yang diderek 1.358 unit, ditilang Dinas Perhubungan 2.271 unit, ditilang polisi 2.357 unit, operasi copot pentil (OCP) roda dua 11.968 unit, OCP roda empat 5.433 unit, serta jumlah kendaraan yang terjaring dan diangkut 1.758 unit.
Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Andri Yansyah menyebut, kesadaran warga DKI akan fungsi trotoar sangat rendah. Mereka cenderung tak peduli. Terjadi adu kuat. Siapa paling kuat akan "menduduki" trotoar. Di Stasiun Tanah Abang, misalnya, hampir tiap pagi Satpol PP dan petugas Dishub berjaga di pintu keluar dan trotoar sepanjang stasiun.
Lihat juga Stasiun Palmerah, daerah Mangga Dua, Jalan Sabang, Jalan Wahid Hasyim, dan daerah Bulungan. Juga di titik pertemuan orang dan kendaraan umum lain di Jakarta.
PKL berdesakan di trotoar, merayu penumpang membeli dagangan. Ojek daring atau ojek pangkalan sama saja. Badan trotoar jadi tempat parkir.
Kegundahan pun dirasakan Gubernur DKI Djarot Saiful Hidayat atas trotoar Tanah Abang. "Kami bangun trotoar supaya pejalan kaki lebih merasakan fasilitas yang bagus. Namun, pas saya lewat situ tetap masih ada yang berjualan," katanya.
Djarot pun memerintahkan Satpol PP berjaga di sekitar trotoar Tanah Abang. Misinya membuat pos pantau dan tak memberi toleransi kepada pedagang nakal.
Ruang ekonomi
Pengamat tata kota Yayat Supriyatna menjelaskan, BTT seharusnya jadi salah satu kebijakan menumbuhkan kesadaran warga DKI tentang fungsi trotoar. Banyaknya pemanfaatan ruang trotoar oleh PKL dan pengemudi ojek karena mereka menilai trotoar adalah ruang bernilai ekonomi.
Sebelum penindakan, kata Yayat, bulan pertama BTT seharusnya ada imbauan bahwa pelanggar bisa dikenai sanksi sesuai perda. Baru pada bulan kedua, dilakukan penindakan.
Hal lain, gerakan mengajak warga jalan kaki. Dengan begitu, trotoar tidak sepi, tapi sungguh berfungsi. "Pejalan kaki sedikit, tentu PKL dan ojek menilai itu ruang komoditas," kata Yayat.
Dari sisi pembinaan, penindakan sebaiknya diikuti pembinaan dan kesiapan lokasi dagang PKL. "Lokasi-lokasi binaan baru sedang kami siapkan," kata Kepala Dinas UMKM DKI Jakarta Irwandi, tanpa merinci lokasinya.
Pengelola transportasi publik seperti stasiun sebaiknya juga bekerja sama dengan Pemprov DKI menuntaskan masalah PKL. Bisa saja PT KAI kerja sama lahan untuk mengatur zonasi. "Toh, PKL ada karena memang ada pembeli, yaitu penumpang kereta," ujar Yayat. Tanpa terobosan, kisah trotoar adalah tentang pertarungan tiada akhir. (HLN/DEA)