Masih Ada Waktu Mediasi
JAKARTA, KOMPAS — Putusan Mahkamah Agung yang mengabulkan kasasi dan menghentikan swastanisasi air minum di DKI Jakarta belum disikapi pemerintah daerah dan pihak swasta. Salah satu harapan yang muncul, tidak perlu diselesaikan dalam skema arbitrase.
Jika skenario setelah putusan MA adalah pemutusan perjanjian kerja sama Perusahaan Daerah Air Minum (PAM) Jaya dengan PT Aetra Air Jakarta dan PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) sebelum kontrak berakhir 2023, ada risiko pengajuan gugatan pihak swasta itu ke Mahkamah Arbitrase Internasional (PCA).
Aetra punya hak eksklusif mengelola distribusi air bersih di wilayah timur Jakarta, sedangkan Palyja di barat. Kontrak keduanya dengan PAM Jaya berjalan tahun 1998-2023.
"Jika swasta disalahkan, mereka bisa berkata ke Mahkamah Arbitrase kesalahan juga pada PAM Jaya atau pemda dan pemerintah pusat karena tidak menyediakan air baku memadai dan mempersulit menambah atau ganti pipa," ujar pengajar Teknik Lingkungan di Departemen Teknik Sipil Universitas Indonesia, Firdaus Ali, Rabu (11/10).
Dokumen putusan MA mencantumkan, salah satu alasan para penggugat meminta swastanisasi air minum DKI dihentikan adalah selama pengelolaan swasta 1998-2011, hanya 62 persen wilayah Jakarta dapat layanan air. Swastanisasi air dinilai gagal memenuhi hak masyarakat.
Masalahnya, cakupan yang belum kunjung 100 persen itu juga dipengaruhi kurangnya pasokan air baku. Menurut Firdaus, tidak ada penambahan pasokan air baku 20 tahun terakhir bagi DKI. Di sisi lain, Aetra dan Palyja kerap kesulitan dapat izin perluasan jaringan pipa atau penggantian pipa-pipa tua.
Karena itu, ia merekomendasikan pemerintah pusat memediasi para pihak. Meski demikian, ia juga meminta pemerintah bersiap menghadapi kemungkinan gugatan arbitrase.
Meminta waktu
Di tempat terpisah, Direktur Utama PAM Jaya Erlan Hidayat meminta publik memberi waktu pihaknya merespons putusan MA. "Kasus yang dibicarakan adalah kasus yang berawal tahun 2014, sudah cukup lama dan sangat mungkin salah kalau terlalu cepat menyimpulkan," katanya.
Bagian hukum PAM Jaya sedang mendalami dan mempelajari putusan itu. Ia memastikan sikap dan posisi PAM Jaya mencerminkan arahan pemprov sebagai pemilik BUMD itu.
Adapun Corporation and Customer Communication Manager Aetra Astriena Veracia menyebut, pihaknya belum bisa berkomentar terkait putusan MA itu. Belum ada arahan direksi.
Respons sama juga dari pihak PT Palyja. "Kami menunggu koordinasi dari PD PAM Jaya, bagaimana keputusannya," ujar Lydia Astriningworo dari Humas PT Palyja.
Ditanya khusus, Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat menegaskan, ia belum tahu soal keputusan MA. "Suratnya dari MA belum tahu, belum bisa pelajari. Biro hukum juga masih lihat seperti apa," ujar Djarot yang dalam hitungan hari tak lagi menjabat sebagai gubernur.
Oleh karena belum tahu isi surat resminya, Djarot belum bisa menjelaskan dampak putusan MA terhadap pelayanan air bersih bagi warga. Ia hanya meminta layanan air bersih kepada warga tidak terganggu.
Evaluasi
Anggota DPRD DKI Jakarta, Abraham Lunggana, menyatakan, Pemprov DKI harus melaksanakan putusan MA yang mengabulkan gugatan warga agar kebijakan swastanisasi air minum di DKI Jakarta dihentikan. Namun, ia akan menunggu sikap eksekutif mengevaluasi kerja sama dan nota kesepahaman PT PAM Jaya dengan Palyja dan Aetra.
"Kontrak PT PAM Jaya dengan swasta harus dievaluasi. Namun, sebelumnya kami juga harus tahu dulu butir-butir dari putusan itu apa saja," kata Lulung.
Kepala Subbagian Bantuan Hukum Biro Hukum DKI Haratua Purba mengatakan, saat ini pihaknya sedang mengirimkan nota dinas kepada gubernur. Nota dinas dibuat untuk melaporkan lebih detail putusan MA. Setelah diterima, gubernur akan menanggapi surat itu.
Ia belum bisa memastikan apa langkah hukum yang akan diambil gubernur. "Tadi surat posisi sudah ada di kepala biro," kata Haratua. (HLN/JOG/DEA)