Pajak Hiburan DKI Diduga Menguap Sekitar Rp 9 Triliun
Oleh
WINDORO ADI TAMTOMO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kekurangcakapan Badan Pajak dan Retribusi Daerah DKI Jakarta mengumpulkan pajak hiburan membuat pajak hiburan di Jakarta menguap lebih dari Rp 9 triliun.
Hal ini disebabkan sebagian pengelola tempat hiburan memperdaya petugas pajak dengan memanipulasi dan menyembunyikan sebagian penyelenggaraan jenis tempat hiburan. Tahun lalu, pajak asli daerah (PAD) sektor hiburan hanya mencapai Rp 4,7 triliun.
Demikian disampaikan sejumlah pengelola tempat hiburan yang dibenarkan Kepala Bidang Industri Pariwisata DKI Jakarta Toni Bako, Jumat (20/10). Ia menjelaskan, PAD hiburan di DKI terbagi dalam tiga golongan, yakni pajak restoran/kafe sebesar 10 persen, pajak musik hidup 25 persen, serta pajak tempat karaoke dan spa sebesar 35 persen.
Dari ketiga kriteria tersebut, hanya pajak restoran yang rutin dibayarkan. Sementara dua pajak lain tidak dibayarkan meskipun di tempat itu juga disediakan layanan musik hidup.
”Angka PAD hiburan yang diperoleh seharusnya bisa dua kali lipat lebih banyak,” ujarnya.
Ulah memanipulasi dan menyembunyikan sebagian penyelenggaraan jenis tempat hiburan, menurut Toni, dilakukan sebagian besar pengelola tempat hiburan di Jakarta Selatan.
”Para pengelola tempat hiburan di Jakarta Barat lebih tertib dan jujur dibandingkan para pengelola tempat hiburan di Jakarta Selatan dan sebagian hotel di Jakarta,” ucapnya.
Toni memberi contoh bagaimana para pengelola tempat hiburan memanipulasi dan menyembunyikan sebagian penyelenggaraan jenis tempat hiburan di tempat mereka.
”Ada restoran yang diam-diam menyelenggarakan musik hidup dan karaoke lounge, tapi waktu petugas pajak datang, kegiatan musik hidup dan karaoke lounge di restoran mereka ditiadakan,” tutur Toni.
Dengan demikian, para pengelola restoran ini cuma membayar pajak 10 persen untuk restoran, sedangkan pajak 25 persen untuk musik hidup dan pajak karaoke lounge sebesar 35 persen tidak dibayar.
”Mereka sebenarnya punya izin usaha musik hidup dan karaoke. Jadi, kalau petugas satpol PP datang, mereka menunjukkan surat izin musik hidup dan atau karaoke mereka. Tapi, kalau petugas pajak yang datang, mereka cuma menunjukkan izin restoran,” papar Toni.
Menurut dia, sebagian pengelola tempat hiburan di Jalan Senopati dan Kemang di Jakarta Selatan serta sejumlah hotel di Jakarta memanipulasi dan menyembunyikan sebagian penyelenggaraan jenis tempat hiburan.
Seorang pengusaha besar tempat hiburan malam di Jakarta Barat dengan nada geram mengatakan, dirinya dan sejumlah pengusaha lain tertib membayar semua jenis pajak hiburan karena tempatnya permanen.
”Restorannya jelas, ruang-ruang karaokenya jelas dan tidak ada kegiatan karaoke lounge, ruang diskoteknya juga permanen,” kata pria tinggi besar yang tak mau disebutkan namanya. Sepengamatannya, umumnya yang sering menyembunyikan sebagian penyelenggaraan tempat hiburan adalah pengelola restoran.
”Bisa restoran plus plus-plus, plus home band untuk musik hidupnya, plus lounge karaoke,” ujarnya.
Dari pengamatan Kompas, kafe-kafe di Jakarta umumnya menyajikan musik hidup. Jordi (39), seorang pemilik kafe, saat ditemui wartawan mengaku hanya membayar pajak restoran sebesar 10 persen. Padahal, di kafenya, ia menyajikan musik hidup.
Ia mengaku tidak tahu bahwa ada tambahan pajak 25 persen untuk kegiatan musik hidup.
Tahun 2012, PAD hiburan di DKI mencapai Rp 2,1 triliun, tahun 2016 menjadi Rp 4,7 triliun. Hingga pertengahan tahun 2017, PAD hiburan DKI mencapai sekitar Rp 2,3 triliun. Dengan capaian angka tersebut, pajak hiburan di DKI masih di peringkat ketiga setelah PAD dari kendaraan bermotor serta PAD bumi dan bangunan.
Menanggapi penjelasan Toni dan sejumlah pengusaha tempat hiburan di Jakarta Barat, Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah DKI Jakarta Edi Sumantri tak mau berkomentar. ”Kalo emang begitu, Bu Tinia (Tinia Budiarti, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI) aja yang jadi kadis pajaknya,” ucap Edi kepada wartawan dengan nada kesal.
Kepala UPT Pajak Taman Sari, Andri Kunarso, mengatakan, dari sejumlah tempat yang ada di wilayahnya, hingga tengah bulan tahun ini pihaknya berhasil mendapatkan pajak sebesar Rp 147,565 miliar atau 76,42 persen dari target.
Upaya pendapatan pajak rutin dilakukan pihaknya dengan membuat pelaku usaha tak nyaman, seperti menyegel tempat hingga menempalkan stiker penunggak pajak.
”Di Taman Sari, pendapatan pajak bisa mencapai Rp 200 miliar atau tertinggi dibandingkan tempat lain. Ini karena mayoritas tempat hiburan, terutama tempat hiburan malam, ada di Tamansari,” ucapnya.