Jakarta sudah ada jauh sebelum Batavia didirikan Jan Pieterszoon Coen tahun 1619. Bahkan, telah eksis sebelum Fatahillah mengusir Portugis dari Sunda Kelapa pada 1527. Meskipun ditentang oleh sejarawan Adolf J Heuken, Fatahillah disebut menyematkan nama Jayakarta di tanah yang ditaklukkannya. Nama yang lalu diamini sebagai cikal bakal Jakarta.
Di luar sejarah kota yang masih diperdebatkan, secara fisik geografis, Jakarta sejak lebih dari empat abad silam berupa dataran dengan banyak sungai melintasinya. Kawasan ini subur, warganya bisa bercocok tanam. Sungai seperti Ciliwung dan Pesanggrahan membawa orang dari daerah yang lebih tengah atau hulu menuju Jakarta membawa berbagai hasil buminya.
Muara sungai-sungai yang menyatu di Teluk Jakarta membuka pintu pergaulan dengan dunia yang lebih luas. Tak heran jika muara Ciliwung di Sunda Kelapa menjadi pelabuhan besar, orang berdatangan dari pulau-pulau jauh, juga dari benua lain. Lambat tapi pasti, kota terbentuk di dataran strategis berawa-rawa itu.
Pertemuan orang-orang dari berbagai latar belakang ras, agama, budaya, juga sosial, dan ekonomi tergambar jelas di kota ini dari dulu hingga kini. Mereka menyatu akibat perkawinan dan kekerabatan, hubungan dagang, juga keterikatan erat selama hidup bersama di satu lokasi. Terjadi asimilasi budaya yang diyakini melahirkan suku Betawi.
Cobalah berkeliling menikmati jantung kawasan Kota Tua di Jakarta Barat, hingga Sunda Kelapa sampai Ancol di Jakarta Utara. Mudah menemukan nelayan keturunan daerah-daerah di Pantai Utara Jawa hingga Makassar, Sulawesi Selatan.
Coba juga lihat kawasan Menteng, kota baru bentukan Belanda yang merupakan perluasan Kota Tua pada masa kolonial. Lanjut ke Kebayoran Baru, kota baru perluasan Jakarta pada masa-masa awal pascakemerdekaan Indonesia. Di luar kota-kota baru itu, kampung-kampung terus tumbuh menyemarakkan Ibu Kota.
Di era kolonial, Belanda sengaja membagi-bagi peruntukan menjadi kawasan pecinan, kampung arab, juga berdasarkan latar belakang suku-suku di Nusantara. Saat penjajah tak lagi bercokol, kawasan khusus itu tetap ada, tetapi pembauran warga pelan-pelan terjadi. Apalagi, Jakarta ibu kota dan pusat ekonomi negeri ini yang terus diminati pendatang dari daerah lain.
Apa yang terjadi di Jakarta adalah gejala umum siklus hidup kota. Lewis Mumford menyatakan, secara fisik, eksistensi kota adalah sebuah permukiman menetap dan adanya berbagai fasilitas permanen untuk berkumpul, kegiatan pertukaran, juga penyimpanan. Dari sisi sosial, kota adalah pembagian kerja sosial yang tidak hanya ada untuk kelangsungan hidup secara ekonomi, tetapi proses budaya yang terus berlangsung.
Secara keseluruhan, sejarawan yang juga sosiolog itu menyatakan, kota adalah jaringan hidup di kawasan tertentu, sebuah organisasi ekonomi, proses institusional, panggung teater atas beragam aksi sosial, dan simbol estetis kesatuan kolektif.
Jelas tanpa keberagaman, tak akan ada kota, tak akan ada Jakarta. Pengelola kota yang baik adalah yang bisa memahami keunikan kotanya agar tepat lagi bijak dalam menentukan dan menerapkan kebijakannya.