logo Kompas.id
MetropolitanBaru Sebatas Komitmen
Iklan

Baru Sebatas Komitmen

Oleh
· 3 menit baca

JAKARTA, KOMPAS — Pemanfaatan air tanah di Jakarta tidak terkendali. Pengawasan dan penegakan hukum terhadap pengambilan air tanah secara ilegal di Ibu Kota belum cukup untuk memastikan keselamatan dan keberlanjutan Jakarta sebagai kota. Dibutuhkan komitmen semua pihak, tidak hanya pemerintah, untuk mengatasi hal tersebut "Komitmen ada, tool ada, tapi pelaksanaan belum bisa seperti yang seharusnya," kata Deputi Gubernur DKI Jakarta Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup, Kamis (26/10), saat diskusi tentang Stratigrafi Cekungan Jakarta di Jakarta Pusat.Beberapa strategi dan aksi pengelolaan air tanah di DKI Jakarta sudah ada. Pada 2009, harga Pajak Air Bawah Tanah (PABT) ditingkatkan menjadi Rp 5.366-Rp 23.333 per meter kubik. Sebelumnya PABT berharga Rp 650-Rp 4.400 per meter kubik. Peningkatan ini bertujuan sebagai konservasi dan pengendalian pemanfaatan air tanah. Sejak 2010, pemakaian air tanah mulai turun antara 7,2 juta-8,8 juta meter kubik per tahun. Selain itu, pemakaian air tanah untuk keperluan komersial dibatasi. Untuk sumur dalam, jumlah maksimum adalah 100 meter kubik per hari dan sumur pantek 10 meter kubik per hari. Daerah yang berada dalam layanan perusahaan air minum (PAM) Jaya hanya bisa menggunakan air tanah sebagai cadangan dalam keadaan darurat. Meskipun komitmen pemerintah menjaga kondisi air tanah ada melalui berbagai peraturan dan PABT, kenyataannya, pengambilan air tanah tak terkendali dan melebihi batas amannya.Pada 2011, kebutuhan air bersih di Jakarta 846 juta meter kubik. Total pemakaian air tanah 548,2 juta meter kubik. Namun, jumlah pemakaian air tanah yang terdaftar hanya 7,86 juta meter kubik. Padahal batas aman pemanfaatan air tanah 256 juta meter kubik sehingga ada kelebihan pengambilan air tanah 292,2 juta meter kubik. Selain beban dari bangunan dan gaya-gaya tektonik aktif, pemanfaatan air tanah yang berlebihan ini merupakan salah satu penyebab fenomena penurunan muka tanah di Ibu Kota. "Permukaan tanah di Jakarta turun sekitar 7 sentimeter per tahun dan berpotensi menimbulkan bencana seperti intrusi air laut dan banjir," ujar Oswar."Masalah air tidak pernah diributkan. Padahal, situasi yang kita hadapi ini masuk dalam zona darurat. Dampaknya tidak hanya menyangkut masalah ekonomi, tetapi juga sosial dan keselamatan," kata Epa Kartika dari tim Pencegahan Korupsi Sumber Daya Alam di KPK. Menurut Epa, kepedulian pemerintah terhadap persoalan ini masih kecil. Alokasi pemerintah lebih difokuskan kepada pembangunan infrastruktur. Selain itu, air bukan indikator penting dalam pengukuran kinerja pemerintah. "Umumnya diukur berdasarkan kinerja di sektor pangan, energi, atau infrastruktur. Padahal, air sumber utama dari semua kegiatan itu," katanya. Ada pula pengendalian dan pengawasan penggunaan air tanah yang tidak berjalan baik. Epa mencontohkan, satu proyek pembangunan bisa mendapat izin untuk dibangun ketika ia belum memiliki izin lingkungan. "Sumur ilegal masih banyak ditemukan. Air tanah memiliki fungsi konservasi, hanya sebagai cadangan. Namun, peraturan ini hanya bersifat administratif," kata Epa. Akan tetapi, data kondisi air tanah di Jakarta belum cukup. "Kita perlu data agar penegakan hukum bisa dilaksanakan. Untuk itu, peta air tanah diperlukan agar tahu wilayah mana yang air tanahnya aman digunakan dan di lokasi mana yang terjadi pengelolaan ilegal air tanah. Peta potensi air tanah ini sedang direvisi," kata Oswar. (DD07)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000