logo Kompas.id
MetropolitanNasib Malang Para Buruh...
Iklan

Nasib Malang Para Buruh Perempuan

Oleh
· 5 menit baca

Tangis Pidati (46) pecah saat ia keluar dari posko ante mortem Rumah Sakit Bhayangkara Tingkat I RS Sukanto, Jumat (27/10) siang. Sudah dua hari ia mencari anaknya, Siti Juliana (20), salah satu korban kebakaran di pabrik kembang api di PT Panca Buana Cahaya Sukses, Kosambi, Kabupaten Tangerang. Pidati mendengar kabar naas yang menimpa anak sulungnya Kamis (26/10) pukul 11.00. Bersama istri dan anak bungsunya yang berusia 10 tahun, ia bergegas datang ke lokasi kebakaran menggunakan kereta rel listrik. Di lokasi kebakaran, Pidati gagal menemukan anaknya. Pencarian berlanjut ke RS Ibu dan Anak BUN, RS Mitra Husada, RSUD Kabupaten Tangerang, hingga RS Bhayangkara Tingkat I RS Sukanto. Hasilnya nihil."Mungkin sudah tak ada harapan lagi anak saya ditemukan," kata Pidati sambil menutupi wajah dengan kedua tangan. Lelaki paruh baya itu menangis terisak saat duduk di trotoar rumah sakit sambil menunggu istrinya yang tengah menjalani tes deoxyribo-nucleic acid (DNA). Tes DNA dilakukan untuk mencari identitas dari 47 mayat korban kebakaran yang dibawa ke Rumah Sakit Bhayangkara Tingkat I RS Sukanto.Meski baru berusia 20 tahun, Juliana telah menikah dan memiliki anak berumur 4 tahun. Menurut Pidati, anaknya sudah bekerja di beberapa pabrik sejak lulus SD di Banten dan di Jakarta. Pada usia 17 tahun, Juliana menikah dengan kernet kendaraan operasional pabrik alat rumah tangga dan menetap di Kosambi. "Saya percaya pada anak saya untuk merantau," ujar Pidati. Ia mengaku kesulitan membiayai sekolah anak karena penghasilannya sebagai buruh di pabrik alat elektronik tidak mencukupi.Selain Juliana, satu korban yang belum ditemukan adalah Rahmawati (16). Darya (40), paman Rahmawati, mengatakan, kemenakannya itu baru saja lulus SMP. Pendidikannya terpaksa berhenti karena persoalan biaya. "Kami ingin Rahma tetap sekolah, tetapi dia juga harus bekerja membantu keuangan keluarga," ujar Darya. Rahma pernah bekerja di pabrik sepeda sebelum bergabung di pabrik kembang api dua bulan lalu. Ibunya, Halimah (37), lebih dulu bekerja di sana dan mengajak sang anak.Rahmawati tergiur imbalan yang dijanjikan pabrik kembang api. Menurut Darya, pekerja perempuan di pabrik itu dibayar Rp 55.000 per hari pada minggu pertama. Pekan kedua gaji turun menjadi Rp 40.000 per hari. Dua pekan belakangan, upah pegawai turun menjadi Rp 105.000 per hari untuk satu kelompok pengepak kembang api terdiri dari lima orang atau Rp 21.000 per orang. Para pegawai di pabrik kembang api itu bekerja sembilan jam (pukul 08.00-17.00). Selama dua minggu belakangan, mereka menerima pekerjaan borongan. Setiap kelompok, harus menyelesaikan pengepakan 9.000 batang kembang api dalam sehari. "Dengan kondisi kerja seperti itu, Rahma berencana berhenti," tutur Darya. Rahma dan ibunya belum ditemukan sampai saat ini.Menurut Ita (50), warga Salembaran, Desa Belimbing, Kosambi, pekerjaan di pabrik kembang api menggiurkan bagi perempuan di wilayah itu. Siapa saja bisa diterima bekerja tanpa syarat. Banyak anak yang baru lulus SD ikut bekerja di sana," kata Ita. Salah satunya Surnah (14), warga Kampung Salembaran, Kosambi. Jenazahnya ditemukan di lokasi kebakaran dan dibawa ke Rumah Sakit Bhayangkara Tingkat I RS Sukanto bersama dengan 46 jenazah lainnya dalam keadaan sudah menjadi arang.Lima warga Cililin Kamis malam, Beben (57), Kepala Desa Batulayang, Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat, datang ke posko ante mortem RS Sukanto melaporkan hilangnya lima warganya yang bekerja di pabrik itu, yaitu Oleh (25), Gunawan (17), Ega (24), dan kakak-adik Naya Sunarya (28) dan Ade Rosita (20). Total ada 12 warga Desa Batulayang yang bekerja di pabrik itu, tujuh di antaranya selamat meskipun luka-luka dan lima orang hilang. Menurut Beben, ada warganya yang masih di bawah umur bekerja di pabrik itu, yaitu Gunawan. Meskipun datanya tertulis Gunawan berumur 17 tahun, Beben tidak percaya karena Gunawan baru lulus SMP. Mulyono (67), warga Kampung Sawah, Kosambi, juga melaporkan kehilangan empat anggota keluarganya, tiga perempuan saudara misan dan seorang perempuan keponakannya. Emu (37), kerabat Fitri (18) yang dirawat di RSIA Bun Kosambi, akibat luka bakar di lengan, mengatakan, nasib sepupu dan keponakannya yang bekerja di pabrik itu belum jelas. "Sepupu saya bernama Yanti (40), ia bekerja di sana bersama anaknya yang bernama Putri yang berusia 14 tahun," kata Emu. Identifikasi jenazahKetua Tim Identifikasi Korban Bencana (DVI) Indonesia Komisaris Besar Pramujoko mengatakan, jenazah Surnah yang pertama bisa ditemukan identitasnya berkat pemeriksaan gigi dan lainnya. Terdapat tiga metode pemeriksaan untuk mengenali korban, yaitu pemeriksaan gigi, sidik jari, dan DNA. Pemeriksaan terhadap sidik jari korban tidak dapat dilakukan karena jenazah rusak. "Yang paling mungkin pemeriksaan gigi karena meskipun mahkotanya sudah terbakar, akar gigi masih tetap utuh," ujar Pramujoko. Polisi mengimbau keluarga korban agar mengirimkan foto yang menampakkan gigi korban untuk memudahkan pengenalan jenazah. Ketua Tim Ante Mortem DVI Indonesia Kombes Sumirat mengatakan, hingga saat ini, sudah ada 49 orang yang melaporkan data dan menjalani tes DNA untuk 47 jenazah korban. Identifikasi terus dilakukan hingga semua jenazah dikenali dan dikembalikan kepada keluarga masing-masing. Sementara itu, dari 10 orang yang hilang, tujuh di antaranya sudah ditemukan dalam kondisi sehat, Jumat ini. (DD01/DD16/DD17/WAD).

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000