Penghuni Rusunawa Perlu Didata Ulang
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan untuk merumahkan masyarakat berpenghasilan rendah Jakarta di rumah susun sewa dianggap sudah tepat. Besarnya tunggakan sewa rusunawa bisa diatasi dengan membenahi basis data penghuni. Pemprov bisa menerapkan tarif subsidi silang di rusunawa.
Ahli kebijakan perumahan Encep R Marsadi mengatakan hal ini saat menjadi pembicara dalam diskusi panel memperingati Hari Habitat Dunia dan Hari Kota Dunia di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Senin (30/10).
Kementerian PUPR berkomitmen menerapkan agenda baru perkotaan, di antaranya menempatkan perumahan sebagai inti pembangunan perkotaan yang inklusif, berkelanjutan, mendorong inisiatif penciptaan hunian untuk semua kalangan khususnya masyarakat berpenghasilan rendah. Caranya dengan menyediakan ruang terbuka, infrastruktur, pelayanan dasar yang layak.
Jakarta kini memiliki 14.206 unit rusunawa. Namun, 8.976 atau lebih dari separuh penghuni rusun menunggak pembayaran sewa unit. Pada Juli 2017, tunggakan sewa itu Rp 32 miliar. Pengelola rusunawa, Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (DPRKP) DKI, mengatakan, warga tidak mampu membayar sewa karena pendapatan mereka kecil.
Encep mengatakan, besarnya tunggakan di DKI itu kemungkinan karena kebijakan sewa kurang tepat. Setelah diterapkan sejak 2012, kebijakan itu perlu dievaluasi. Salah satunya dengan memperbaiki data penghuni rusunawa. Pemprov harus memiliki data detail termasuk profil, pendapatan, dan pengeluaran warga rusunawa. Dengan berbekal data itu, warga yang benar-benar tidak mampu bisa mendapatkan subsidi tepat. Warga dengan kemampuan finansial lebih baik bisa membayar lebih mahal.
"Bicara rusun harus jelas orientasi penghuninya. Kalau itu rusun sosial, berarti subsidi pemerintah harus besar. Untuk membantu operasional rusun, pemerintah bisa membuat program mix used social, yaitu masyarakat penghasilan rendah dan sedang dijadikan satu blok," kata Encep.
Kebijakan ini sudah diterapkan di Singapura. Dengan membaurkan penghuni yang memiliki kemampuan ekonomi beragam, pemerintah bisa bersiasat membiayai pemeliharaan gedung. Penghuni beragam juga bisa menghidupkan sendi ekonomi di rusun. Selama ini, perekonomian di rusun kurang berdenyut karena penghuni berstatus ekonomi sama. Saat mereka memulai hidup baru di rusun dengan membuka usaha pun pembeli terbatas. Dagangan kurang laku karena penghuni sama-sama orang yang tidak berdaya beli.
Taraf hidup meningkat
Orang yang tinggal di rusun harus didorong supaya taraf hidupnya meningkat. Caranya dengan memberikan pelatihan dan pendampingan keuangan. Di Jawa Barat, Encep telah mendampingi 1.300 penghuni rusun sejak 2013. Kini, sekitar separuh dari penghuni rusunawa itu sudah mampu mengakses rumah hak milik. Dari tabungan yang dikumpulkan empat tahun, warga bisa mengakses kredit kepemilikan rumah (KPR) ataupun membangun rumah sendiri.
"Orang-orang yang saya damping ini tinggalnya di sekitar kawasan industri Rancaekek, Bandung. Mereka rata-rata bekerja di sektor informal, seperti buruh pabrik, pedagang, tukang las, dan guru honorer," kata Encep.
Apalagi, Pemprov Jawa Barat memiliki aturan, warga hanya boleh tinggal di rusun yang dikelola pemda selama 3-6 tahun. Warga kian sadar ikut gerakan menabung untuk penghuni rusun. Selama di rusun, pengelola mematok tarif maksimal 25 persen-30 persen dari penghasilan warga. Misalnya warga berpenghasilan Rp 2 juta per bulan, tarif rusun Rp 225.000-Rp 275.000 per bulan. Dengan pengeluaran itu, asumsinya warga masih mampu memenuhi kebutuhan makan sehari-hari, transportasi, sehingga bisa menyisihkan sedikit untuk menabung. Dalam 4 tahun, warga yang didampingi Encep bisa menabung hingga Rp 18 juta.
"Setelah memiliki modal cukup, warga bisa membuat rumah sendiri dan mengakses kredit dengan bunga murah. Pemerintah bisa memberikan lagi fasilitas bagi warga yang sudah berdaya secara ekonomi ini," kata Encep.
Skema ini baru diterapkan di Jawa Barat. Encep menilai program ini seharusnya bisa diterapkan di Jakarta. Apalagi, masyarakat berpenghasilan rendah dan warga miskin kota di Jakarta banyak. Dengan program dan pendampingan yang tepat, warga diharapkan bisa berdaya. Penataan kota bisa lebih adil karena warga di sektor informal bisa tinggal di dalam kota. Menurut Encep, masyarakat berpenghasilan rendahlah yang seharusnya tinggal di dalam kota karena akses transportasi mereka terbatas. Warga yang bekerja sebagai pemulung, pedagang, tukang sapu, cleaning service butuh mencapai tengah kota dengan cepat dan murah.
Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno berkomitmen memberi akses bagi warga yang belum memiliki rumah dalam program uang muka atau DP Rp 0. Saat ini, implementasi dari program itu sedang disiapkan dengan cara melakukan pendataan kelompok sasaran. (DEA)