JAKARTA, KOMPAS — Sekitar sepuluh pengurus dan anggota Koalisi Pejalan Kaki menggelar aksi damai di trotoar sekitar Stasiun Tanah Abang, Jakarta Pusat, Jumat (10/11). Mereka mengingatkan para pedagang, pengguna kendaraan bermotor yang memarkir di atas trotoar, dan petugas Satuan Polisi Pamong Praja yang tidak menegur para pelanggar fungsi trotoar.
Kegiatan ini dilakukan untuk menemukan fakta di lapangan tentang pelanggaran fungsi trotoar. Fakta tersebut akan menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah. Menurut rencana, mereka akan berdialog dengan pejabat dinas perhubungan pada minggu depan dan berharap disampaikan kepada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan.
Salah satu pendiri Koalisi Pejalan Kaki, Anthony Ladjar, mengatakan, kami menggelar aksi ini untuk membuktikan jika pejalan kaki turun ke jalan raya karena trotoar digunakan untuk kegiatan lain, seperti berdagang. ”Kami ingin agar fungsi trotoar dikembalikan kepada pejalan kaki,” kata Anthony.
Ia juga menyoroti pembangunan trotoar yang tidak bersinergi. Hal itu terlihat dengan adanya tiang listrik dan telepon di tengah trotoar.
Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal Ahmad Safrudin berharap kegiatan ini dapat menjadi inspirasi, seperti kegiatan car free day yang telah mereka cetuskan dan diadopsi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Namun, ia merasa car free day belum efektif karena masyarakat belum dapat lepas dari kendaraan bermotor.
”Ketergantungan masyarakat terhadap kendaraan bermotor diakibatkan oleh fasilitas pejalan kaki dan jalur sepeda yang belum memadai,” kata Ahmad. Ia menjelaskan, berdasarkan penelitian pemetaan yang dilakukan Koalisi Pejalan Kaki pada 2012 hingga 2017, Jakarta memiliki 6.600 kilometer jalan raya. Namun, hanya 420 kilometer jalan raya yang memiliki trotoar atau hanya 6 persen. Dari 6 persen itu, 80 persen di antaranya digunakan untuk berdagang dan kegiatan lainnya yang mengganggu pejalan kaki.
Salah satu anggota Koalisi Pejalan Kaki, Nurul Humari, menjelaskan, saat ini trotoar di Jakarta tidak nyaman untuk pejalan kaki. ”Saat ini masih banyak trotoar yang berlubang dan tidak ramah untuk kaum disabilitas,” kata Nurul.
Ia mengatakan, ketidaknyamanan pejalan kaki juga disebabkan oleh kurang tegasnya aparat keamanan dalam menindak para pelanggar trotoar. Ia berharap pemerintah dapat tegas menjalankan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas. Salah satunya, tentang fungsi trotoar untuk pejalan kaki.
Satpol PP menghindar
Pada awal kegiatan ini terdapat sebuah peristiwa ironis. Petugas Satpol PP yang seharusnya menertibkan pedagang justru memarkirkan mobilnya di trotoar. Ketika melihat aksi damai ini menghampiri mobil tersebut, mereka buru-buru menghindar dengan memindahkan mobilnya di jalan raya.
Koalisi Pejalan Kaki juga sempat bersitegang dengan sejumlah pedagang yang merasa haknya dalam mencari nafkah diganggu. ”Kami hanya rakyat kecil yang mencari nafkah secara halal,” teriak salah satu pedagang.
Ahmad menanggapi persoalan pedagang tersebut sebagai bentuk kegagalan pemerintah dalam menghidupkan Pasar Tanah Abang Blok G. ”Pemerintah harus membantu pedagang kecil dengan cara mengaktifkan kembali Blok G,” kata Ahmad.
Ia menuturkan, jika para pedagang merasa tidak laku berjualan di Blok G, pemerintah harus memberikan akses khusus agar pembeli mau mendatangi Blok G. Salah satunya dengan memberikan papan penanda di setiap sudut Pasar Tanah Abang. Ia berharap ke depannya seluruh trotoar di Jakarta dapat steril dari kegiatan selain untuk pejalan kaki. (DD08)