Polri Diminta Menjamin Keamanan Pelapor yang Terancam Jiwanya
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) meminta pihak Kepolisian Negara RI juga memberikan perlindungan dengan menjaga dan menjamin keamanan pelapor atau perempuan yang terindikasi terancam jiwanya.
Selain itu, pemerintah juga diminta mengambil langkah-langkah serius dalam menghentikan kasus-kasus femicide atau penghilangan nyawa perempuan yang berhubungan dengan identitas jendernya.
Demikian seruan Komnas Perempuan yang disampaikan sejumlah komisioner, antara lain Mariana Amiruddin, Adriana Veny Aryani, Sri Nurherwati, dan Yuniyanti Chuzaifah, di Jakarta, Selasa (14/11).
Seruan ini disampaikan menyusul adanya kasus pembunuhan terhadap perempuan, seperti yang dialami dokter LS (46) yang tewas ditembak di tempat kerjanya di Azzahra Medical Centre, di Kelurahan Cawang, Kecamatan Kramatjati, Jakarta Timur, Kamis (9/11) pekan lalu. Menurut kepolisian, pelaku penembakan adalah suaminya, dokter H (Kompas, 10 November 2017).
”Komnas Perempuan menyampaikan turut berduka dan mengecam keras kasus-kasus pembunuhan terhadap perempuan yang semakin menggerus rasa aman kita semua, tetapi polisi tidak menahan pelaku dan tidak memberikan perlindungan sementara kepada korban,” ujar Mariana.
Padahal, menurut Komnas Perempuan, dalam UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) terdapat 10 pasal khusus mengatur tentang perlindungan sementara dan perintah perlindungan untuk korban. Komnas Perempuan menilai aspek perlindungan dan keamanan korban dalam implementasi dari UU PKDRT tersebut masih lemah.
Puncak kekerasan pada perempuan
Soal femicide sudah masuk dalam Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2017. Femicide merupakan puncak dari kekerasan terhadap perempuan yang berakhir pada hilangnya nyawa perempuan. Namun, selama ini kasus-kasus yang terkait femicide jarang terungkap/dilaporkan karena dianggap korban sudah meninggal. Padahal, hak asasi seseorang atas martabat, hak kebenaran, hak atas keadilan dan sebagainya tidak berhenti dengan hilangnya nyawa.
Kasus femicide, menurut Sri Nurherwati, selama ini cenderung hanya dianggap kriminalitas biasa yang ditangani polisi, yang lebih fokus untuk mencari pelaku. Komnas Perempuan menilai, kondisi ini terjadi karena minimnya analisis kekerasan berbasis jender, tidak ada diskusi dan kurang perhatian aspek pemulihan korban serta keluarganya.
Kasus-kasus femicide perlu menjadi perhatian karena dapat saja terjadi karena tidak dijalankannya fungsi perlindungan korban saat terancam nyawanya, termasuk dalam konteks PKDRT. Femicide terjadi karena kuatnya kuasa patriarki, relasi kuasa antara pelaku dan korban.
”Pelaku adalah orang-orang yang dikenal, orang dekat, baik pacar, kawan kencan, suami, pelanggan, dan lainnya. Polanya juga sadis dan tidak masuk akal,” tambah Yuniyanti dn Adriana.
Selama ini, ada lima kasus pembunuhan terhadap perempuan yang dilaporkan ke Komnas Perempuan. Namun, dari penelusuran berita-berita di media, pada tahun 2017 ada sekitar 15 kasus pembunuhan perempuan, termasuk dr LS.
Menyikapi kondisi tersebut, selain meminta Polri dan menjamin keamanan pelapor atau perempuan yang terindikasi terancam jiwanya, Komnas Perempuan meminta masyarakat, termasuk keluarga besar, tempat kerja, organisasi, lembaga pendidikan untuk menjadi bagian untuk pencegahan dan perlindungan berbasis komunitas.
Tak hanya itu, media juga diimbau untuk menghindari viktimisasi pada korban dengan menjaga integritas korban dan keluarganya.