logo Kompas.id
MetropolitanKisah Dilema Enam Bersaudara
Iklan

Kisah Dilema Enam Bersaudara

Oleh
· 3 menit baca

Siti Komaria Purnamasari memilih tegar saat perasaannya dicabik-cabik kesedihan. "Daripada taruh adik-adik saya di panti, mendingan diurus saya dan saudara-saudara saya saja. Saya tidak mau kita semua terpisah-pisah," katanya, akhir pekan kemarin.Siti adalah anak sulung dari enam bersaudara. Mereka baru kehilangan ibunya, Hani (41), Jumat (17/11). Ibu keenam anak itu meninggal akibat kecelakaan ketika sedang mencari nafkah.Pada Jumat itu, Hani mengamen dengan anak bungsunya, Angga (5), di dalam bus kopaja. Hendak keluar dari bus, anak itu jatuh keluar karena bus masih berjalan. Dalam situasi yang mengagetkan itu, sang ibu ingin melindungi anaknya, tetapi ia juga jatuh dari bus karena kehilangan keseimbangan akibat bus yang masih berjalan.Angga hanya mendapatkan luka kecil di kepala depannya. Namun, si ibu diperkirakan tewas seketika karena kepalanya terbentur keras. "Ada banyak darah yang keluar dari telinganya," kata suami Hani, Baya Yusuf (50), ketika ditemui di rumahnya, Senin (20/11).Kecelakaan itu diperkirakan terjadi di perempatan Jalan Raya Cilandak KKO dan Tol Pondok Pinang-Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jumat, sekitar pukul 11.00.Empat dari keenam anak Hani dan Baya berusia di bawah 18 tahun, yaitu Firdaus (17) yang sekolah di SMK, Andre (15) berhenti sekolah, Bilji (12) masih di SD, dan si bungsu Angga belum sekolah. Sementara dua anak tertua pasangan itu sudah menikah, salah satunya adalah Siti.Baya biasa bekerja di Pasar Induk Kramatjati sebagai kuli atau pedagang. Hasil keringatnya berkisar Rp 40.000-100.000 per hari. Kecilnya penghasilan itu tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari, Hani pun turun tangan membantu keuangan keluarga dengan mengamen.Miftahul Huda dari Humas Dinas Sosial DKI Jakarta berharap anak-anak itu tidak mengamen. "Mereka diimbau untuk diasuh di panti sosial. Mereka belum bisa menjawab karena masih sedih," katanya.Namun, sebagai anak pertama, Siti menunjukkan rasa tanggung jawabnya dan keinginannya menjadi sosok ibu keluarganya. "Biar saya urus adik-adik. Saya, kan, paling tua," ujarnya.Siti berharap adik-adiknya dapat melanjutkan pendidikannya, jadi orang sukses, dan membantu keluarganya agar tak dihina orang lain. "Kami akan mencari rezeki bersama. Tidak ada yang boleh pisah dari saya," katanya.Tidak nyamanPadahal, tak jauh dari rumah Siti dan keluarganya terdapat Rumah Singgah Akur Kurnia. Pendirinya, H Otong Suryana, mengatakan, kegiatan sehari-hari rumah itu membantu dan mengasuh anak-anak telantar tanpa orangtua atau anak-anak yang dieksploitasi secara ekonomi. Mereka terutama menjangkau anak-anak di daerah Pasar Rebo, TMII, dan Pasar Induk Kramatjati.Namun, menurut Otong, jumlah anak di rumah singgah itu berkurang karena mereka tidak nyaman. "Mereka merasa kurang bebas karena kebanyakan aturan. Ada yang tidak mau belajar, ada yang nongkrong di luar sampai telat pulang malam, dan lainnya," ujarnya.Miftahul menerangkan, banyak anak-anak yang mengamen pada tengah malam di sekitar pasar induk. Petugas pelayanan pengawasan dan pengendalian sosial bertugas mengendalikan dan menjangkau penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS), seperti pengamen dan pengemis. "Mereka bertugas pukul 08.00-23.00. Biasanya anak-anak mengamen setelah itu," katanya.Apa yang dihadapi Siti dan adik-adiknya bukan tidak mungkin dihadapi banyak keluarga miskin lain di Ibu Kota. Meski ada sederet program bantuan, masih ada saja pihak yang membutuhkan belum bisa dijangkau pemerintah. Perlu banyak strategi dan upaya kreatif demi membantu sesuai dengan kebutuhan mereka. (DD07)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000