JAKARTA, KOMPAS — Ukuran kota yang manusiawi terkait interaksi atau keterhubungan antarwarga yang difasilitasi pemerintah kotanya. Sejumlah fasilitas yang patut ada dan terus diperjuangkan adalah ruang publik dan transportasi publik yang terakses, aman, dan nyaman
”Penting menjadikan sebuah kota jadi tempat nyaman. Kota- kota saat ini harus direstorasi. Persoalan utama banyak kota adalah polusi dan konektivitas,” kata arsitek dari Studio Fuksas Italia, Massimiliano Fuksas, Kamis (30/11), dalam seminar ”Human Scale vs Urban Scale” yang diadakan Universitas Pelita Harapan.
Para pihak didorong optimistis menciptakan kota yang manusiawi. Apalagi, 70 persen populasi dunia akan tinggal di kota.
Untuk itu, segala ide dan inovasi teknologi harus diupayakan. Seiring meningkatnya populasi dunia, kebutuhan tempat tinggal juga kian tinggi.
”Kecenderungan warga kota adalah semakin banyak (beraktivitas) di luar rumah. Karena itu, arsitektur harus dapat membuat bangunan atau infrastruktur yang selain bisa menjadi lanskap kota, juga punya arti bagi warga. Bisa dikenang,” ujarnya.
Menyadari akan itu semua, bangunan yang dirancang Fuksas di beberapa negara selain dibangun dengan konsep ramah lingkungan, semua memiliki ruang untuk publik. Hal itu sengaja, memfasilitasi orang agar bisa saling bertemu.
Guru Besar Arsitektur Universitas Indonesia Gunawan Tjahjono mengungkapkan, perancangan atau arsitektur ada untuk memanusiakan manusia. Titik tolaknya selalu berawal dari manusia. Apalagi, kini kota menjadi tumpuan hidup sebagian besar manusia.
”Kalau kota yang kita tinggali tidak dapat dimengerti, pasti ada yang salah dengan perencanaannya. Perancangan kota yang baik akan meninggalkan kenangan kolektif warga,” katanya.
Perancangan yang manusiawi itu, kata Gunawan, terlihat dari, misalnya, kondisi jalur pejalan kaki yang ramah, aman, dan nyaman, serta banyak ruang publik. Sayangnya, pembuat kebijakan kerap tidak peka sehingga membangun sesuatu tanpa memikirkan kegunaan dan kenyamanannya bagi orang lain, terutama untuk anak-anak, ibu hamil, dan orang lanjut usia.
Lebih beradab
Guru Besar Arsitektur Institut Teknologi Bandung Mohammad Danisworo mengatakan hal senada. Infrastruktur yang manusiawi harus menghubungkan antarmanusia. Dalam skala manusia, keterhubungan itu terjadi di ruang publik.
Warga kota, yang meskipun tidak saling mengenal, akan berinteraksi. Sementara itu, dalam skala urban, keterhubungan perlu dibangun dengan transportasi massal yang aman dan nyaman.
”Kota harus mampu menjadi katalisator, membuat manusia lebih beradab. Keterhubungan yang terjalin akan memperbaiki kualitas urbanisasi di Indonesia yang selama ini rendah,” ujar Danisworo.
Di kota yang sudah padat seperti Jakarta, di mana lahan sudah banyak dikuasai swasta, kata Danisworo, pemerintah harus lebih kreatif menciptakan ruang- ruang publik. Hal itu, misalnya, bisa dengan status peminjaman, tetapi dengan pemberian kompensasi seperti pembebasan pajak untuk ruang yang digunakan tersebut. (UTI)