Izin Pembangunan Terhenti
JAKARTA, KOMPAS — Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menarik rancangan peraturan daerah tentang rencana tata ruang kawasan strategis pantai utara Jakarta. Dengan demikian, perizinan terkait pulau reklamasi tidak bisa dikeluarkan sampai ada peraturan daerah yang menaunginya.
Raperda tentang rencana tata ruang kawasan strategis pantai utara Jakarta (RTRKS Pantura Jakarta) ini sudah masuk dalam program legislatif daerah (prolegda) di DPRD DKI.
”Kami menerbitkan surat pencabutan raperda pada 22 November lalu. Kami memang mengirimkan surat karena mau melakukan pengkajian lagi. Sebab, situasi hari ini berbeda dengan situasi pada masa lalu,” ujar Anies, Rabu (6/12).
Kami menerbitkan surat pencabutan raperda pada 22 November lalu. Kami memang mengirimkan surat karena mau melakukan pengkajian lagi.
Menurut dia, pengkajian ulang diperlukan karena Pemprov DKI ingin membangun kawasan pantai Jakarta berdasarkan kondisi Jakarta hari ini, Jakarta sekarang, dan Jakarta ke depan. ”Kami harus melihat kembali, baik secara geopolis, sosial, ekonomi, lingkungan, maupun budaya. Nah, itu semua mengharuskan ada kajian,” kata Anies.
Untuk bisa membuat kajian itu, Anies membentuk tim penataan kawasan pantai. Tim akan diambil dari Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP). Tim itu akan menyusun rancangan yang lebih matang untuk dijadikan sebagai perda.
”Penarikan ini bukan soal persentase sama sekali. Inilah justru kami ingin me-review secara keseluruhan, baru dari situ kami lakukan pengaturan lewat perda supaya perda yang dihasilkan tidak sekadar mengatur yang sekarang ada, tetapi justru mengatur ke masa depan,” ujarnya.
Kepala Biro Hukum Pemprov DKI Jakarta Yayan Yuhana membenarkan adanya surat pencabutan raperda ini. Sebelumnya, pada Oktober 2017, Pemprov DKI bersurat ke DPRD DKI agar segera membahas raperda ini.
Gamal Sinurat, Asisten Sekretaris Daerah Provinsi DKI Jakarta bidang Pembangunan dan Lingkungan Hidup, menjelaskan, perda RTRKS Pantura Jakarta nantinya menjadi payung hukum reklamasi. Tanpa perda ini, sertifikat izin mendirikan bangunan (IMB) di atas pulau reklamasi tidak bisa diterbitkan.
”Konsekuensinya, perizinan enggak bisa jalan. Penerbitan IMB itu untuk izin bangunan. Bangunan apa saja yang boleh ada, itu tergantung Perda Tata Ruang,” kata Gamal.
Dengan ditariknya raperda itu, saat ini yang ada di Badan Pembentukan Perda tinggal Raperda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Sempat buntu
Raperda yang diusulkan sejak Gubernur Basuki Tjahaja Purnama tahun 2015 itu antara lain, tambahan kontribusi yang harus dipenuhi pengembang. Besar tambahan kontribusi itu 15 persen nilai jual obyek pajak (NJOP) yang berlaku saat itu dikalikan luas lahan efektif.
Nilai nominal itu kemudian dikonversikan dalam bentuk natura, seperti penyediaan rumah susun, pembangunan waduk, pembangunan pompa dan rumah pompa, serta prasarana publik lain di Jakarta secara keseluruhan dan Jakarta Utara pada khususnya (Kompas, 5 Desember 2015).
Pembahasan raperda ini sempat buntu terkait tambahan kontribusi pengembang. Badan Legislasi DPRD DKI mengajukan formula penghitungan yang jauh berbeda, yakni 5 persen NJOP dari kontribusi lahan atau 5 persen dari luas pulau.
Dengan dua formula berbeda, selisih nilai tambahan kontribusi yang harus ditunaikan pengembang berbanding 1:34,8. Artinya, jika mengacu pada formula yang diusulkan Baleg, pengembang pulau reklamasi hanya perlu membayar kontribusi Rp 1, sementara dengan formula Pemprov DKI Jakarta senilai Rp 34,8 (Kompas, 4 April 2016). (HLN)