Menilai Pembatasan Motor
Gubernur Anies Baswedan awal November lalu mengeluarkan wacana akan mengkaji ulang pembatasan sepeda motor di ruas Jalan Medan Merdeka Barat hingga Bundaran HI, sepanjang 1,5 kilometer. Itu dilandasi keinginan memberikan akses bagi seluruh warga.
Keinginan mencabut pembatasan itu juga bagian dari rencana pembangunan trotoar di kawasan Sudirman-Thamrin menjelang Asian Games 2018.
Pembatasan ruang gerak sepeda motor diberlakukan tiga tahun lalu melalui Peraturan Gubernur Nomor 141 Tahun 2015. Alasan utamanya, menyiapkan jalan protokol dengan program ERP (electronic road pricing), yakni kendaraan yang melintas harus membayar. Yang boleh melintas hanya kendaraan roda empat atau lebih.
Kebijakan itu juga mendorong pengguna kendaraan pribadi, terutama sepeda motor, berpindah ke angkutan umum.
Polemik
Jajak pendapat Kompas akhir November 2017 menunjukkan, pendapat warga atas rencana itu terbelah. Sebanyak 46,9 persen responden sepakat, sedangkan 47,0 persen menilai sebaliknya.
Pencabutan pembatasan gerak sepeda motor itu dikhawatirkan membuat Jakarta kian semrawut. Selain itu, mengembalikan kebiasaan lama warga menggunakan kendaraan pribadi, khususnya sepeda motor. Selama pemberlakuan pembatasan, seperempat warga menilai, hal itu mengurangi kemacetan.
Statistik Transportasi DKI Jakarta 2016 menunjukkan, selama 2010-2015, pertumbuhan sepeda motor di Jakarta rata-rata 9,7-11 persen per tahun. Mobil rata-rata 7,9-8,8 persen per tahun.
Merujuk pada data itu, tiga dari lima responden pun tidak yakin, jika sepeda motor dibolehkan lagi melintas di Jalan Thamrin, lalu lintas di jalan protokol akan lebih tertib dan lancar. Sebaliknya, justru akan meningkatkan volume kendaraan.
Salah satu alasan pembatasan itu adalah mengurangi angka kecelakaan. Data Korlantas Polri 2016, 74 persen kecelakaan lalu lintas didominasi sepeda motor dan korbannya mayoritas (53 persen) pemilik SIM C. Itu selaras pendapat 21 persen responden yang sepakat pembatasan tetap diberlakukan karena menekan angka kecelakaan.
Jika pembatasan sepeda motor dicabut, 20 persen menilai, itu tidak sesuai program pemerintah mendorong penggunaan angkutan umum. Pembatasan sepeda motor di ruas Thamrin juga sebagai sarana pembelajaran masyarakat agar mau beralih ke angkutan umum.
Pembatasan bukan untuk mendiskriminasi sepeda motor karena dibarengi pembatasan mobil melalui kebijakan ”Ganjil Genap” yang diberlakukan Agustus 2016 pada ruas jalan yang sama dan ruas jalan lain.
Efektivitas kebijakan
Pro kontra wacana pengkajian ulang pembatasan sepeda motor bermula dari kegamangan warga terkait efektivitas kebijakan itu. Hampir separuh warga menilai pembatasan tak efektif. Sebanyak 66 persen dari kelompok itu berharap pembatasan dicabut.
Pembatasan juga hanya di ruas jalan 1,5 kilometer sehingga efek mengurangi kemacetan tidak besar. Itu didukung 15 persen responden yang menilai, sepeda motor bukanlah penyebab macet. Dimensi roda dua tak lebar. Pembatasan juga hanya akan memindahkan kemacetan ke ruas jalan alternatif, seperti yang terjadi dengan penerapan Ganjil Genap.
Dari pantauan Masyarakat Transportasi Indonesia, uji coba penerapan Ganjil-Genap pada Juli 2016 menunjukkan, kemacetan di ruas protokol menurun. Namun, volume kendaraan di jalan lain meningkat hingga 30 persen.
Pencabutan kebijakan
Dorongan pencabutan salah satunya dari pemikiran bahwa semua warga berhak menggunakan jalan protokol. Pembatasan itu dianggap 42,3 persen responden melanggar hak asasi.
Alasan lain, 24 persen responden menilai, tanpa pembatasan, mempercepat waktu tempuh. Dari analisis Jakarta Smart City, pembatasan melintasi Sudirman-Thamrin mengganggu mobilitas 500.000 UMKM. Terakhir, sebagian kecil responden ingin itu dibatalkan karena angkutan umum belum memadai.
Pembatasan sepeda motor di Jalan Thamrin tak semata soal mengeksklusifkan satu kawasan. Tujuan langkah awal mengurangi kemacetan Jakarta. Juga membiasakan publik menggunakan transportasi umum sebelum MRT dan LRT beroperasi.