Pelembab Bibir
Jakarta, Bekasi, dan kawasan lain dilanda banjir. Banyak kantor menghentikan aktivitasnya. Sejumlah pekerja pun izin tidak masuk atau membolos.
Salah satu menteri menanyakan kondisi banjir kepada salah satu pejabat di kementeriannya. ”Sudah surut banjirnya? Setinggi apa?” kata dia kepada pejabat yang tinggal di Kelapa Gading, Jakarta Utara. ”Segini, Pak! Kira-kira sepinggang,” jawab dia.
Pertanyaan sama ditanyakan kepada stafnya yang juga tinggal di Kelapa Gading. ”Sudah surut. Banjirnya sepaha,” jawab dia.
Dapat jawaban berbeda, Pak Menteri yang dikenal lurus dan tegas itu berujar, ”Ini jawaban mana yang bener! Satu jawab banjir sepaha, satunya lagi sepinggang!” Pak Menteri lupa, postur tubuh kedua orang itu memang berbeda.
Kisah itu terjadi tahun 1996 dan menjadi obrolan segar di kalangan wartawan di kementerian tersebut. Saat itu, Jakarta dan Bekasi memang terendam menyusul hujan hampir tak putus tiga hari. Ketinggian air 30-100 cm.
Ilustrasi di atas untuk menggambarkan bahwa jika bicara banjir di Jakarta, mestilah cermat. Ada beda antara banjir, banjir sesaat, dan genangan air.
Jakarta memang seperti kota dengan ”kutukan” banjir yang tak pernah diselesaikan Gubernur DKI. Saat banjir sesaat melanda Ibu Kota, awal pekan ini, bisa jadi drama biasa bagi warga Jakarta. Kemacetan luar biasa di mana-mana. Banyaknya mobil dan motor yang mogok ibarat teror berulang bagi publik Jakarta.
Seperti halnya banjir, banjir sesaat, atau genangan—apalah istilahnya—sebelumnya, kejadian kali ini pun menempatkan Gubernur DKI Jakarta sebagai bulan-bulanan lawan politiknya.
Sebuah rumpian (chat) anekdot beredar di media sosial tentang bagaimana gubernur saat ini menyalahkan gubernur sebelumnya. Gubernur sebelumnya itu pun menunjuk gubernur sebelum dia. Saling tunjuk terus terjadi, sampai pada Jan Pieterszoon Coen, Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang memerintah tahun 1619-1623 dan 1627-1629.
Saling tunjuk terus terjadi, sampai pada Jan Pieterszoon Coen, Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang memerintah tahun 1619-1623 dan 1627-1629.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sempat menyebut banjir di Jakarta kemarin itu akibat sejumlah pompa penyedot banjir yang tak berfungsi. Selain itu, dipicu tali air yang terhambat proyek pembangunan MRT dan LRT di sejumlah kawasan.
Direktur Utama PT Adhi Karya Budi Harto menangkis tudingan itu. Kontraktor pembangunan LRT itu menegaskan, proyeknya tak menanggung sistem drainase di Jakarta. Bahkan, pihaknya punya tim khusus pemantau dan menangani masalah drainase itu. Bantahan serupa oleh PT MRT Jakarta yang menegaskan, pengerjaan proyek mereka sesuai analisis dampak lingkungan, termasuk memastikan drainase berfungsi baik.
Situasi politik yang belum lagi enak menyebabkan banjir (sesaat) kali ini berbeda dibanding kejadian sama di era-era sebelumnya. Banjir kini jadi obyek nyinyir pendukung kubu masing-masing. Alih-alih prihatin terhadap banjir, berbagai meme atau sejenisnya masif beredar di media sosial.
Memperbincangkan banjir kini tak lagi soal bagaimana Jakarta dikepung 13 aliran sungai, menurunnya muka tanah, penyedotan air tanah berlebihan, ruang terbuka hijau menyempit, curah hujan tinggi, atau buruknya perilaku masyarakat terhadap sungai. Banjir di Ibu Kota jaman now juga tentang pelembab bibir yang sempat viral di media sosial. Duhh....