Program rumah lapis pertama kali dikemukakan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan saat rapat pematangan Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) 2018. Berbeda dengan rumah susun, rumah berlapis merupakan rumah susun yang tingginya tak lebih dari delapan lantai. Rumah berlapis ini juga akan ditata dengan konsep konsolidasi lahan.
Adapun tujuan dari rumah berlapis adalah revitalisasi kota dengan mengedepankan peremajaan kota. Sebanyak 16 kampung kumuh direncanakan akan dibenahi. Penataan Kampung Akuarium, Jakarta Utara, akan menjadi percontohan program rumah berlapis. Ditargetkan 200 rukun warga kumuh di Jakarta bisa ditata kembali dengan konsep ini.
Program ini diapresiasi positif warga DKI seperti yang dinyatakan tiga perempat responden jajak pendapat Kompas akhir November lalu.
Berbeda dengan relokasi warga ke rumah susun sederhana sewa (rusunawa) yang terkadang jauh dari tempat tinggal semula. Seperti eks warga Pasar Ikan, Penjaringan, Jakarta Utara, yang direlokasi ke Rusunawa Rawa Bebek, Jakarta Timur, dan Rusunawa Marunda, Jakarta Utara, April 2016 lalu. Rumah lapis menempatkan warga dekat dari lokasi semula.
Melalui konsolidasi lahan, sebidang lahan milik sejumlah warga ditata kembali penguasaan dan penggunaan tanahnya. Warga bisa jadi menerima luas lahan dengan ukuran lahan rumah sebelumnya, tetapi bisa juga tidak, karena bergantung dengan luasan lahan kawasan permukiman serta jumlah keluarga yang terlibat dalam proses konsolidasi. Yang jelas, warga akan mendapat petak tanah yang bentuknya teratur.
Konsolidasi lahan permukiman ini berkonsep dari, oleh, dan untuk pemilik tanah sehingga pembangunan dilaksanakan tanpa menggusur masyarakat. Konsep penataan lahan ini melibatkan partisipasi aktif masyarakat. Penataan lahan di setiap lokasi disesuaikan dengan kriteria warga dan aktivitas sehari-harinya.
Warga Jakarta optimistis program rumah berlapis bisa terwujud. Hal tersebut dinyatakan oleh lebih dari separuh responden. Optimisme warga tertangkap dari upaya DKI Jakarta menata Kampung Aquarium. Pendataan warga sudah dilakukan yang jumlahnya mencapai 160 keluarga. Setelah itu pembangunan tempat penampungan warga sebelum nantinya bangunan rumah lapis akan berdiri.
Kendala
Namun, tidak sedikit pula responden yang masih meragukan terwujudnya program rumah berlapis seperti dinyatakan oleh 31 persen. Mereka berpandangan rumah berlapis tidak mudah diwujudkan. Sejumlah persoalan bisa muncul. Salah satunya, program ini dipandang rentan melanggar aturan tata ruang, apalagi jika perkampungan itu berdiri di atas tanah negara. Salah satunya, Kampung Akuarium yang akan dijadikan percontohan.
Penataan kampung di atas tanah negara juga dikhawatirkan memunculkan efek domino negatif. Jika satu lokasi lahan ilegal, dilegalkan untuk permukiman, maka akan menyulitkan bagi DKI Jakarta untuk melakukan penataan di lokasi lainnya, seperti dalam program revitalisasi sungai. Selain itu, penataan kampung di atas tanah negara pun tak bisa menjanjikan warga atas hak milik bagi tanah tersebut.
Sampai saat ini, baru sekitar 47 persen responden saja yang tahu program ini. Separuh lainnya beranggapan rumah lapis tak jauh beda dengan rumah susun. Hampir 20 persen responden menilai rumah lapis berbeda dengan rumah susun. Sedangkan 26 persen responden tidak tahu persamaan dan perbedaan rumah lapis dengan rumah susun.
Minimnya pengetahuan warga itu tidak terlepas dari belum selesainya pembahasan dan pengkajian program itu.
Separuh responden menilai rusunawa yang dekat dengan lokasi warga sebelumnya bisa menjadi sarana pemecahan persoalan permukiman kumuh. Solusi lain, baru rumah berlapis, kampung deret hingga pindah ke rusunawa yang jauh dari lokasi penataan.
Apa pun namanya, masyarakat berharap bisa tetap tinggal tidak jauh dari lokasi semula serta dilibatkan dalam proses penataannya. Bagi warga, apa pun upaya positif dari pemerintah sepanjang dilakukan demi pemecahan masalah tempat tinggal kumuh di Jakarta tentu akan mendulang persetujuan dari masyarakat.