Saat apresiasi dan kritik berdatangan menanggapi upaya penataan Tanah Abang yang disertai penutupan sebagian Jalan Jatibaru Raya untuk pedagang kaki lima (PKL), Pemerintah Provinsi DKI Jakarta justru menyatakan bahwa penempatan PKL di jalan raya itu hanya sementara.
Kepala Dinas Koperasi, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dan Perdagangan DKI Jakarta Irwandi, Senin (25/12), mengatakan, penempatan PKL di jalan raya itu menurut rencana hanya sementara hingga selesainya penataan berbasis konsep kawasan terintegrasi bernama transit-oriented development (TOD) Tanah Abang. Sejumlah moda angkutan publik yang diintegrasikan di simpul itu salah satunya berbasis rel, yaitu kereta komuter.
Setelah TOD jadi, para PKL akan dipindahkan ke jembatan layang (skybridge) dan jalan difungsikan kembali seperti biasa. Namun, Irwadi belum memastikan kapan skybridge terwujud. ”Tahun 2018 mungkin belum, ya, setelah itu,” ujarnya.
Sementara ini, 400 PKL yang sudah ditempatkan di tenda di Jalan Jatibaru Raya diminta menandatangani surat pernyataan untuk tidak lagi berjualan di trotoar. Sanksi akan diberikan apabila mereka melanggar, yaitu tidak diperbolehkan lagi berjualan di sana.
Meski ada penertiban, sejumlah pedagang masih terlihat berjualan di trotoar sepanjang Senin kemarin. Mereka yang berjualan di trotoar beralasan tidak kebagian tenda yang disediakan oleh pemerintah secara gratis. Ada juga PKL yang tidak mau berjualan di tenda agar dapat berpindah-pindah ke tempat yang ramai.
Asih (45), PKL yang berjualan makanan dan minuman di depan Pasar Blok G, tetap berjualan di trotoar karena tidak dilarang petugas satuan polisi pamong praja (Satpol PP). ”Saya berjualan menggunakan teras toko, jadi tidak dilarang,” katanya.
Tempat berjualan Asih berada di depan sebuah toko. Sebagian besar dagangannya berada di teras, tetapi sisanya menggunakan trotoar. Sejumlah petugas satpol PP tampak berjaga di depannya. Petugas hanya menegur pedagang yang menaruh dagangan di tengah trotoar mendekati batas garis kuning untuk jalur pejalan kaki penyandang disabilitas, khususnya tunanetra.
Sulthon (60), pedagang baju, masih berjualan di trotoar karena tidak mendapat tenda. Sama dengan Asih, ia berdalih, dagangannya berada di depan teras rumah saudaranya.
PKL beranggapan pembagian undian untuk mendapatkan tenda tidak adil. Ada pedagang pemilik toko yang juga mendapat kapling tenda. Arif (24), salah satu pedagang, misalnya, mendapat tenda meskipun sudah memiliki toko di Jatibaru. Tenda jatahnya akan digunakan kakaknya, Umi (40), untuk berdagang baju. ”Syaratnya hanya daftar dan tunjukkan KTP DKI,” ujarnya.
Laksanakan aturan
”Kalau soal keberpihakan kepada pedagang kecil dan PKL, tentu semua setuju dengan ini. Tetapi, dalam membuat kebijakan, peraturan tetap harus dijalankan,” kata peneliti Institute for Transformation Studies, Tory Damantoro, kemarin.
Menurut Tory, seharusnya penutupan jalan di kawasan Tanah Abang dilakukan satu paket dengan penataan PKL dan pungutan liar secara tegas. Kebijakan DKI itu belum secara tegas menjawab praktik pungutan liar di kawasan Tanah Abang. Hal ini memancing kecurigaan sebagian masyarakat bahwa kebijakan itu menguntungkan sebagian pihak saja.
Kebijakan pemerintah, kata Tory, seharusnya juga meningkatkan keteraturan masyarakat di kawasan itu. ”Salah satunya, dengan penutupan jalan, kinerja jaringan jalan di sekitarnya jadi lebih baik,” katanya.
Berdasarkan pengamatan, penutupan ruas jalan itu belum memberikan dampak jelas untuk mengurangi kesemrawutan kawasan Tanah Abang. Kemacetan masih terjadi, PKL juga masih banyak berjualan di trotoar di sebagian besar kawasan Tanah Abang di luar jalan yang ditutup setiap pukul 08.00-18.00 itu.
Dari sisi undang-undang (UU), Tory menilai, penutupan ruas Jalan Jatibaru Raya yang telah berlaku sejak Jumat (22/12) membuka interpretasi berbeda. Penutupan jalan masih bisa dibenarkan berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan turunannya, Peraturan Pemerintah No 32/2011 tentang Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas. ”Kalau memang Jalan Jatibaru Raya sebagian ditutup untuk menjadi kawasan pejalan kaki, menurut saya masih bisa masuk dengan aturan ini,” katanya.
Namun, interpretasi lain adalah penutupan jalan itu melanggar UU No 38/2004 yang melarang jalan digunakan untuk kegiatan yang mengganggu fungsi jalan. Namun, jika jalan tersebut memang digunakan untuk jalan.
Pendapat berbeda disampaikan pengamat lalu lintas perkotaan Djoko Setijowarno, yang menyatakan penutupan Jalan Jatibaru Raya itu melanggar Pasal 12 UU No 38/2004 dan Pasal 275 Ayat (1) juncto Pasal 28 Ayat (2) UU Nomor 22 Tahun 2009.
Menurut Djoko, dari dua sisi peraturan tersebut, dapat disimpulkan bahwa tindakan PKL berjualan di jalan dan trotoar merupakan perbuatan melanggar hukum. ”Solusi dari Tanah Abang, bangunlah skywalk sepanjang jalan existing sehingga fungsi jalan tak terganggu dan tak melanggar UU,” katanya.
Hak publik
Tarik ulur kebijakan seperti diungkapkan Irwadi, juga perbedaan penafsiran dasar aturan penataan Tanah Abang yang diperdebatkan para ahli, mengerucut pada kesimpulan belum jelasnya konsep serta dasar hukum penataan kawasan perdagangan internasional itu. Pemprov DKI Jakarta selama ini belum menjelaskan secara detail kajian atas penataan Tanah Abang.
Padahal, sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan, semua aturan sudah dikaji dalam melaksanakan kebijakan penataan di kawasan Tanah Abang tersebut. Ada baiknya, selain informasi terkait penutupan Jalan Jatibaru, bus Tanah Abang Explorer, dan tenda bagi PKL, penjelasan kajian hingga target jangka pendek, menengah, dan panjang diungkapkan oleh Anies. Sudah menjadi hak publik untuk tahu hal itu.