Kaum Ibu dan Ikhtiar Melindungi Si Buah Hati
Najwa Khairina (30) gigih membujuk kedua buah hatinya untuk mau disuntik vaksin difteri. Sejak masuk ke aula RS Syarif Hidayatullah, Ciputat, kedua anaknya, Afid (8) dan Fildza (6), terus menangis. Mereka ketakutan saat melihat anak-anak lain menangis selama disuntik vaksin.
”Umi kan tidak mau kalau kamu sakit nanti. Yuk, Fildza, disuntik, ya, sambil melihat Upin dan Ipin,” ujar Najwa lembut.
Meskipun sudah dibujuk dengan iming-iming es krim, menonton film kartun favorit, dan lain-lain, Fildza terus menangis. Ia terisak-isak ketakutan tidak mau disuntik. Namun, anak itu juga tidak mau meninggalkan kursi yang disediakan untuk para pengantre imunisasi.
”Tadi di rumah, adek sudah mau diimunisasi lho. kenapa sekarang jadi enggak mau, ya?” ujar Najwa lagi sembari mengusap air mata putrinya.
Hampir dua jam Najwa membujuk putrinya itu agar mau divaksin difteri. Namun, hingga pelayanan RS Syarif Hidayatullah tutup pada pukul 12.00, Fildza tetap tidak mau disuntik. Ia meronta dan menolak saat diminta mendekati dokter.
”Ya, sudah enggak apa-apa, sekarang pulang dulu, besok kita ke sini lagi, ya, nak,” ujarnya.
Sebelumnya, Afit (8), anak laki-laki Najwa, berhasil disuntik meskipun menangis histeris dan meronta. Ada tiga orang yang menjaga supaya Afit tetap tenang. Namun, begitu jarum suntik diarahkan ke lengan kirinya, Afit menangis histeris dan menarik lengannya menjauh. Tangisan lebih kencang lagi terdengar saat vaksin mulai masuk ke pembuluh darahnya.
Naluri Najwa sebagai ibu ingin melindungi anak-anaknya, termasuk dari ancaman penyakit mematikan difteri yang disebabkan bakteri Corynebacterium diphtheriae.
Najwa sudah memberikan imunisasi difteri, pertusis, dan tetanus (DPT) kepada kedua buah hatinya. Namun, karena kini pemerintah menetapkan kejadian luar biasa (KLB) difteri dan mewajibkan vaksin ulang, ia tak mau kecolongan. Ia ingin anaknya memiliki ketahanan tubuh prima supaya bisa memperjuangkan masa depannya.
Hal serupa juga dilakukan Lina Marliana (37). Ia semakin khawatir dengan daya tahan tubuh anaknya saat mendengar seorang anak di Pamulang, Tangerang Selatan, terkena difteri. Padahal, ia tinggal tak jauh dari sekolah anak penderita difteri itu. Apalagi, setiap hari ia
mendapatkan paparan pemberitaan ataupun informasi merebaknya wabah difteri di Indonesia.
Saat mendengar RS Syarif Hidayatullah memberikan pelayanan Outbreak Response Imunization (ORI) difteri, ia segera mendaftar. Kedua anaknya yang berusia 8 tahun dan 11 tahun langsung dibawa ke RS. ”Intinya sebagai manusia kami sudah melakukan ikhtiar. Dokter tidak mungkin menyarankan sesuatu yang mencelakakan pasiennya dengan sengaja,” ujar Lina.
Selain anak-anak usia 1-19 tahun yang menjadi sasaran program ORI difteri, orang-orang dewasa pun banyak yang ingin melakukan vaksin ulang. Data dari Kementerian Kesehatan menyebutkan bahwa 18 persen dari kasus difteri menimpa golongan muda di bawah 40 tahun. Oleh karena itu, mereka yang dahulu pernah vaksin
DPT, tetapi sudah lewat 10 tahun, disarankan untuk vaksin ulang.
Eva Situmorang (30), aktif mencari tahu di mana ia bisa vaksin ulang difteri. Menurut dia, selama ini sosialisasi
program vaksin mandiri belum jelas. Ia tidak tahu di mana saja bisa mendapatkan vaksin mandiri.
”Kami harus aktif mencari tahu sendiri karena selama ini sosialisasi lebih banyak untuk anak usia 1-19 tahun,” ujarnya.
Lawan informasi palsu
Kegigihan Najwa membujuk anaknya untuk divaksin difteri serta animo masyarakat melindungi dirinya dari ancaman wabah seolah meruntuhkan sikap sekelompok orang yang menolak vaksin. Sekelompok orang itu kerap menyebarkan informasi melalui sosial media tentang pro dan kontra vaksin. Akhirnya, karena alasan keyakinan, mereka menolak mengikuti program pemerintah seperti imunisasi difteri.
Najwa mengatakan, sikap orang-orang yang menolak imunisasi tak hanya merugikan dirinya sendiri, tetapi juga kelompok di sekitarnya. Ketika sudah ada anak yang imunisasi, tetapi sebagian belum imunisasi, muncul kesenjangan kekebalan dalam komunitas itu. Penyakit yang seharusnya tak lagi muncul di Indonesia, muncul lagi dan mengintai nyawa banyak orang.
Kaum ibu seperti Najwa dan Lina meminta pemerintah menindak tegas kelompok antivaksin. Apalagi, jika pemerintah sudah memiliki aturannya. Menurut ibu-ibu ini, tindakan menolak vaksin sangat merugikan
karena tidak mendukung program nasional. Penolakan membuat kekebalan komunitas terancam.
”Kalau memang ada aturannya, tugas pemerintah menindak tegas kelompok yang sering menyebarkan informasi hoaks dan gerakan antivaksin,” tukas Lina Marliana.
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 12 Tahun 2017 Pasal 33 disebutkan, seseorang atau sekelompok orang yang melakukan tindakan menghalang-halangi penyelenggaraan Imunisasi Program dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Di sosial media juga muncul petisi yang diinisiasi oleh Alumni Farmasi Institut Teknologi Bandung Tahun 2002. Mereka meminta pemerintah menindak tegas grup antivaksin. Petisi itu sudah ditandatangani oleh 7.005 pendukung. Petisi itu di antaranya meminta kepada warga Indonesia, terutama para orangtua, agar lebih sadar tentang perlunya perlindungan imunitas sejak dini untuk putra-putrinya. Mereka juga mendesak pemerintah untuk mengambil tindakan tegas sesuai hukum yang berlaku kepada kelompok-kelompok masyarakat yang gemar membuat kebingungan dan menyebarkan informasi rancu tentang vaksin dan imunisasi.
Di sisi lain, pemerintah pusat melalui Kementerian Kesehatan juga terus melakukan program ORI difteri. Di Jakarta, Jawa Barat, dan Banten ada sekitar 8 juta anak usia 1-19 tahun yang menjadi sasaran imunisasi ulang difteri. DKI Jakarta menyiapkan 1.230.000 vaksin DPT untuk warga usia sasaran.
Dokter umum RS Syarif Hidayatullah Delfiarnis mengatakan, supaya vaksin bekerja dengan optimal membentuk sistem imunitas, anak-anak harus melakukan vaksin selama tiga tahap. Jarak antara vaksin pertama dan kedua satu bulan. Adapun jarak vaksin kedua dan terakhir sekitar enam bulan.
Hidup bermasyarakat tidak bisa hanya melulu mengedepankan ego masing-masing. Kesadaran membangun kehidupan yang sehat bersama-sama wajib ditumbuhkan. Terlebih jika taruhannya adalah nyawa buah hati kita, penerus bangsa.
(DIAN DEWI PURNAMASARI)