Rumah Cimanggis atau biasa disebut RC berada di Jalan Raya Bogor Kilometer 34, menjadi bagian dari aset pusaka kota, bagian perjalanan sejarah Kota Depok. Pengamatan Kompas, kemarin, kondisi RC sudah tanpa atap sama sekali. Semua ruang di rumah seluas sekitar 1.000 meter persegi tersebut rimbun oleh semak belukar yang juga menutup dua sumur di depan rumah.
Beberapa warga sekitar tampak memanfaatkan batu bata dan balok kayu besar dari bagian rumah tersebut yang runtuh. Menurut Ketua Depok Heritage Community (DHC) Farah Diba, tahun 2016 RC masih beratap. Tahun 2013, beberapa daun jendela mulai dicuri orang.
”Padahal, aset pusaka kota inilah yang membedakan identitas kota satu dengan satu kota lainnya,” kata Farah Diba di RC, Rabu (27/12).
Bangunan cagar budaya bukan sekadar lipstik membangun romantisisme atau onggokan artefak semata, melainkan bukti eksistensi peradaban satu kota.
”Merobohkan RC sama dengan menghapus masa lalu. Bayangkan, sebuah kota tanpa masa lalu,” katanya.
Penulis banyak buku sejarah Batavia, Heuken SJ, menyatakan kawasan atau bangunan cagar budaya merupakan akar budaya kota. ”Bagaimana warga kota dengan cinta dan kebanggaannya mengembangkan kotanya kalau akar budaya kotanya dihancurkan?” tanya Heuken saat ditemui di rumahnya, Selasa kemarin.
Jika dibiarkan, lanjutnya, kota hanya akan jadi sekumpulan tempat hunian yang pendekatannya sangat fungsional. Kawasan dan bangunan cagar budaya itu sesuatu yang kasatmata untuk menjelaskan sejarah, menjelaskan masa lalu. Ia berpendapat, kehadiran kawasan dan bangunan cagar budaya di satu kota membuat kota menjadi home dan bukan sekadar house bagi warganya.
Hal senada disampaikan Kepala Bidang Aset dan Sejarah Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein, Ferdy Jonathans, kemarin. ”Saya mengecam keras rencana merobohkan bangunan bersejarah ini,” ujarnya.
Kecaman mereka dipicu oleh rencana pembangunan kompleks RC untuk kampus universitas swasta dengan cara merobohkan rumah bersejarah tersebut. Alasan merobohkan RC untuk didirikan bangunan baru di atasnya karena Pemerintah Kota Depok, serta pihak pemilik lahan tidak memberikan informasi yang cukup mengenai RC. Bukti bangunan tersebut sebagai gedung cagar budaya juga dipertanyakan.
Farah membantah dan, menurut dia, RC sudah didaftarkan sebagai bangunan cagar budaya. RC juga sudah mendapat penetapan sebagai bangunan cagar budaya dari Balai Pelestarian Cagar Budaya. ”Rujukan sudah diserahkan kepada Pemerintah Kota Depok. Sudah terdaftar sejak 2011. Ada nomor registrasi pendaftarannya,” kata Farah.
Menurut Farah, penetapan terganjal di tingkat kota karena pemerintah Depok tidak memiliki tim ahli cagar budaya seperti di DKI Jakarta. ”Tapi kan itu bukan alasan untuk merobohkan RC. Pemerintah pusat yang harus tanggap mengerahkan tim ahli cagar budayanya,” ujar Farah.
Perkembangan kota
Heuken menjelaskan, kehadiran RC seperti halnya 10 rumah peristirahatan (landhuise) lainnya di Jakarta-Bogor dan sekitarnya, turut memicu perkembangan kota Batavia. Menurut dia, landhuis selalu didirikan di tengah lahan telantar hutan belukar, nyaris tanpa penghuni. Pembangunan landhuis disertai pembukaan perkebunan dan peternakan.
Setelah kehadiran landhuis, kawasan pun ramai, disusul pembangunan pasar. ”Menghidupkan kawasan pinggiran Batavia sekaligus menata kota hampir selalu diawali dengan pembangunan landhuis.,” tutur Heuken.
RC tak lain rumah Johanna van der Parra, istri kedua Petrus Albertus van der Parra didirikan tahun 1775. Johanna (1743-1781) adalah putri David Johan Bake, salah seorang petinggi VOC. Saat menikah dengan van der Parra, Johanna adalah janda Anthony Gulden Arm yang juga petinggi VOC.
Para pencinta sejarah dan warisan budaya, serta pengamat perkotaan mendesak DPRD Kota Depok bertindak. Ketua Komisi A DPRD Kota Depok Hamzah mengatakan, komisi yang dipimpinnya akan mendesak pimpinan DPRD memanggil Wali Kota Depok M Idris Abdul Shomad dan menuntutnya membatalkan rencana pembongkaran RC.
”Tidak bisa ditawar lagi, DPRD harus menuntut wali kota membatalkan, mencegah setiap usaha merobohkan RC,” kata Hamzah. (WIN)