BOGOR, KOMPAS — Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok diperlukan untuk mengatur, bukan melarang atau menyusahkan perokok. Perda itu juga memberi keadilan dan kesetaraan bagi perokok pasif dan aktif untuk menciptakan keharmonisan sosial dalam masyarakat.
Demikian, antara lain, isi diskusi ”Mengkritisi Perda KTR Kota Bogor, Perlukah?” yang diselenggarakan Bogor Today dan Inilah.com di Hotel Salak Heritage, Kota Bogor, Kamis (28/12). Acara dengan pembicara kunci Wali Kota Bogor Bima Arya dan diskusi yang dipandu Aly Yusuf itu juga untuk mendapat masukan terkait revisi Perda Kota Bogor Nomor 12 Tahun 2009 tentang KTR, yang naskah raperdanya sudah diserahkan eksekutif ke DPRD Kota Bogor. Perda akan dibahas Januari 2018.
Bima mengatakan, semangat mengatur peredaran rokok dan aktivitas merokok ada di Kota Bogor sebelum ia jadi wali kota. ”Saya memilih melakukan penguatan landasan hukum, (agar) jangan sampai menjadi ekstremis. Semuanya harus berlandaskan hukum. Semangat meneruskan itu, yang dimulai Perda No 12/2009, dengan perwali 2010 tentang penerapan KTR, dan perda 2015 tentang pengaturan iklan,” katanya.
Soekotjo dari Ditjen Otonomi Daerah Kemendagri mengatakan, pemda turut menentukan KTR sesuai perintah undang-undang, peraturan pemerintah, serta kesepakatan bersama beberapa menteri. Tahun 2016, dari 500 lebih kota/kabupaten, 108 kota/kabupaten sudah punya perda atau wilayah KTR. Adapun 63 juta jiwa terpapar rokok dengan pemasukan cukai Rp 136 triliun.
”Kami akan teliti lagi perda-perda dan mendorong pemda dalam membuat perda mendengar aspirasi masyarakat karena ada isu HAM-nya,” katanya.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Bogor Rubaeah mengatakan, Perda KTR dan turunannya adalah kesepakatan bersama warga Kota Bogor. Perda itu juga tidak diskriminatif karena tak melarang warga atau orang merokok, tetapi mengatur aktivitas perdagangan dan merokoknya.
Perda KTR akan ditegaskan dan diperluas serta melarang iklan dan displai produk rokok di ruang publik.
Perdebatan
Ferry M Baldan, Presiden Smoker Club Indonesia, mengatakan, perda-perda KTR dibuat karena membenci perokok dan tidak memahami perang bisnis internasional serta tidak memahami di situ ada masalah hak asasi individu. Ia mempersoalkan nama kawasan tanpa rokok, bukan kawasan tanpa asap rokok.
”Perda yang ada hanya menghukum perokok yang melanggar KTR. Perintah undang-undang yang mewajibkan ada ruang merokok di KTR tak diterapkan. Tak ada sanksi bagi lembaga atau perusahaan yang tak menyediakan ruang merokok,” katanya.
Kalaupun ada ruang merokok, menurut Tony Priliono, Sekjen Lembaga Konsumen Rokok Indonesia, ruang itu mirip kuburan yang sangat sempit dan tidak nyaman untuk merokok.
Pengamat kebijakan publik Syamsuddin CH Haesy mengatakan, Perda KTR itu perlu untuk mengatur kepentingan perokok pasif dan perokok aktif agar ada harmonisasi sosial dalam masyarakat. Peraturan KTR jangan sampai mengganggu kepentingan sebagian masyarakat.
Karienya Ryanda Suharto dari Forum Anak Kota Bogor menyampaikan ketidaksetujuan pada produk dan iklan rokok yang bebas di ruang publik. ”Rokok dipajang dan diiklankan jelas-jelas untuk menarik pembeli. Anak-anak yang belum paham bahaya asap rokok dan masih mencari jati diri akan tergoda dan akhirnya jadi perokok pemula,” katanya.
Soal nama KTR, Erna Nuraena dari Dinas Kesehatan Kota Bogor mengatakan, UU juga menggunakan istilah itu. (RTS)