Agogo pada Malam Muda Mudi
Sebagian warga Jakarta menyebutnya ”malam bebas” atau ”dancing on the street”. Pada 1968, Jalan Thamrin didominasi kaum muda berdansa agogo diselingi musik dan bunyi petasan. Tentang kegiatan itu, Kompas menulis, ”Anak-anak tanggung yang biasanya kurang tersalur keinginannya malam itu seakan-akan memperoleh kebebasannya.” Ada anak muda yang mengenakan pakaian ala jagoan Amerika, Jango, yang serba sempit. Ada pula di antara mereka yang bergaya hippies dengan menyelipkan sekuntum bunga kamboja di telinga.
Tahun 1960-1970-an, dansa agogo menumbuhkan suatu perkumpulan yang disebut Teenagers A Go Go Club. Kegiatannya beragam, mulai kontes agogo, pemutaran film, sampai lomba bridge dan karambol. Klub dibuka dua kali seminggu, yakni Rabu dan Sabtu.
Agogo juga muncul lewat pakaian mini dan gaya rambut yang sebagian ujungnya dibentuk melingkar di pipi dekat telinga. Pada masa ini salah satu komik humor yang populer adalah karya Sopoiku berjudul Nona Agogo. Si Nona Agogo digambarkan sebagai perempuan muda, cantik, baik hati, modern, dan mandiri.
Dalam salah satu buku komiknya dikisahkan Nona Agogo bisa membuat om senang tak berkutik. Pada kisah lain, Nona Agogo dengan kecerdikannya dapat membuat lelaki hidung belang ”ketemu batunya”. Si Nona Agogo tentu saja suka berpakaian mini dan jago menari agogo.
Pesta yang diadakan perseorangan atau di rumah disebut juga ”gengsot”. Peserta pesta umumnya berusia 15-20 tahun meski ada pula yang 25 tahun. Di sini dansa agogo berlangsung dengan tata lampu warna-warni sekaligus temaram. Untuk menyaring agar peserta pesta hanya mereka yang diundang, tamu harus membawa undangan. Biasanya pada undangan itu tercantum kalimat ”undangan supaya dikantongin”.