Angkot Bogor Tiada Ujung
Jauh sebelum Pemkot Bogor dan DPRD Kota Bogor memutuskan dan menyetujui pembenahan transportasi publik menjadi prioritas pembangunan Kota Bogor, rintisan ke arah transportasi berkelanjutan sudah dimulai. Tahun 2007, didirikan Perusahaan Daerah Jasa Transportasi (PDJT) yang mengoperasikan 30 bus transpakuan. Tahun 2005, dilakukan pemasangan satu converter dan tabung gas pada 1.000 angkot sehingga angkot berbahan bakar elpiji yang lebih ramah lingkungan daripada bensin atau solar.
Seiring dengan waktu, ternyata perbaikan dan pembangunan transportasi berkelanjutan tidaklah mudah. Stasiun pengisian bahan bakar gas hanya satu. Pengadaan tempat parkir untuk SPBU mobile juga tak dapat dipenuhi pemkot. Angkot yang masih terpasang converter gas tinggal 350 unit. Itu pun tidak jelas, apakah semua pemilik/sopir angkot tersebut tetap berkomitmen memakai elpiji atau converter dan tabung gasnya masih layak pakai.
Rencana penataan trayek angkot atau rerouting angkot bersamaan dengan penerapan tujuh koridor utama angkutan massal dan jalur trayek baru pun tersendat. PDJT yang diharapkan menjadi percontohan manajemen jasa angkutan massal mati suri, kalau tak mau disebut bangkrut.
Yang paling menghebohkan adalah kebijakan penerapan sistem satu arah di seputar Kebun Raya Bogor (KRB), langkah awal rerouting. Dampak sampingan kebijakan itu adalah jalan di pusat Kota Bogor lebih longgar karena mengurangi titik penyeberangan orang dan angkot mangkal. Langkah itu memicu pro dan kontra.
Terakhir, yang memperlambat rencana pembenahan transportasi massal adalah usulan pemberian subsidi kepada badan hukum jasa angkutan massal yang ditolak DPRD Kota Bogor, awal Desember 2017. Penolakan, antara lain, karena di lapangan tak terlihat angkutan massal, bus ataupun angkot, yang beroperasi sesuai tujuh koridor utama yang ditetapkan.
Karut-marut dan kekisruhan keinginan memperbaiki transportasi umum terlihat jelas, khususnya ketika uji coba trayek baru. Pemkot Bogor sampai harus meminta bantuan polisi untuk menjaga rute dan titik-titik rawan. Itu pun, entah kenapa, uji coba hanya bertahan satu-dua hari. Perilaku tidak patuh sopir angkot kembali terjadi. Bahkan, tak segan ada yang melepas atau merusak stiker trayek barunya yang dipasang dinas perhubungan (dishub) di kaca depan angkot.
Akibatnya, kegandaan nomor trayek angkot yang terpasang kian membuat bingung dan sebal pengguna jasa angkot. Mereka harus bertanya lagi tujuan atau lintasan angkot yang akan ditumpangi.
Kondisi dan usaha angkot di Kota Bogor kian miris. Pembenahan jadi keharusan. Apalagi, regulasi menetapkan angkutan umum haruslah aman, nyaman, dan menjamin keselamatan.
Di tengah suram dan kusutnya menuju angkutan umum yang aman, nyaman, dan berkeselamatan, tetap ada harapan pada tahun ini dan ke depan, bahwa angkutan umum Kota Bogor bisa menjadi angkutan massal berkelanjutan. Bisnis pengelolanya pun sehat.
Itu karena semua angkot di Kota Bogor sudah dikelola atau bernaung dalam badan hukum. Bahkan, satu badan hukum minimal wajib memiliki atau mengelola 50 angkot. Kondisi itu sejak awal 2017 sehingga niat baik para pengusaha angkot taat pada regulasi cukup teruji.
Pionir
Saat ini, baru Kota Bogor yang berhasil menghimpun pengusaha atau pemilik angkot orang per orang berhimpun sebagai badan hukum dan minimal 50 angkot. Di kota lain, satu angkot bisa satu badan hukum.
Angkot-angkot pun mau mengecat bagian bawah sekeliling kendaraannya, yang disebut ”selendang”, dengan warna sesuai warna trayeknya. Trayek angkot nomor 7, misalnya, dengan selendang putih.
Artinya, keinginan menata dan ditata dari pihak angkot sudah ada. Ketegasan dan konsistensi yang tidak ada.
”Jadi, perubahan jalur dan harus ganti angkot ke bus karena ada aturan dari pusat, ya? Bukan kemauan dishub di sini? Bukan kemauan ’bapak yang punya Bogor’. Saya baru tahu. Kirain mau-mau mereka. Saya juga enggak tahu, TPK itu singkatan atau artinya apa,” kata Wawan (32), sopir angkot TPK 5, salah satu dari tujuh koridor utama transpakuan (TPK).
Namun, lanjutnya, walaupun angkotnya sudah terpasang stiker trayek TPK dan angkotnya berselendang hijau toska sesuai ketentuan, ia tetap belum pernah membawa angkotnya sesuai rute TPK 5, dari Stasiun Merdeka ke Ciparigi. Ia hanya putar-putar di lingkar KRB-Sudirman-Pemuda-A Yani-KRB. Tidak pernah ia membawa penumpangnya sampai Terminal Merdeka, apalagi Ciparigi.
Dewi Yani, pengurus Koperasi Kojari, satu dari empat badan hukum jasa angkutan di Kota Bogor, mengatakan, walaupun mereka menyepakati kebijakan rerouting, yang antara lain menetapkan tujuh koridor utama TPK, tak mudah mematuhi atau mengisi trayek itu. Keharusan mengonversi tiga angkot menjadi bus sedang (kapasitas 25 penumpang) atau tiga angkot menjadi dua bus sedang itulah pangkal utamanya.
Meskipun para pemilik angkot sudah bergabung dalam badan hukum, mereka tak mampu membeli bus. ”Harga bus itu dua sampai tiga kali harga angkot baru,” ujar Dewi.
Sebenarnya, lanjutnya, sudah cukup membantu jika ketentuan bus sedang diganti dengan kendaraan kapasitas 15-18 orang. Kendaraan jenis ini, selain bisa untuk angkot rutin mengisi jalur TPK jatahnya, bisa disewakan sebagai kendaraan jasa travel.
”Setoran angkot TPK kapasitas 15-18 orang sekitar Rp 400.000. Kalau disewakan travel Rp 800.000 per hari. Ini membantu kami, sampai jalur baru TPK ramai sesuai harapan,” tuturnya.
Saat ini, lima dari tujuh koridor utama TPK sudah diresmikan pengoperasiannya. Namun, tidak efektif karena angkot jalur rintisan atau pengumpan tidak berjalan. Selain masih sangat sedikit penumpangnya, mereka berhadapan dengan jasa ojek motor atau ruas-ruas badan jalan masih sempit sehingga sulit melintas jika dua kendaraan berpapasan.
Ruas jalan sempit itu tidak saja ditemui di jalur trayek angkot pengumpan, tetapi juga di trayek koridor utama TPK. Di ruas Jalan Otista di pusat kota, yang juga dilintasi dua koridor utama TPK, penyempitan jalan terjadi karena lebar Jembatan Otista lebih sempit daripada lebar jalan sebelum dan sesudah jembatan itu. Jalan itu juga menurun sebelum jembatan, lalu menanjak lagi.
Dengan kondisi itu, mayoritas angkot bermesin 1.000 cc dan kendaraan pribadi yang melintas harus bergiliran. Ketersendatan pun tak terhindarkan.
Kekecewaan
Para pengusaha angkot juga kecewa karena subsidi badan hukum jasa angkutan umum yang diusulkan pemkot tak disetujui DPRD. ”Kalau semua dibebankan ke pengelola dan sopir angkot, kami tidak sanggup. Kalau memang berpihak pada rakyat, ongkos angkutan murah dan selalu ada angkot beroperasi, subsidi itu sangat perlu. Sekarang biaya operasional angkot tinggi dan penumpang berkurang,” tutur Yadi Indra Muyadi, Sekretaris Koperasi Kauber.
Ia berharap, Pemkot Bogor kembali memasukkan usulan dana subsidi bagi badan hukum usaha jasa transportasi pada APBD Perubahan dan DPRD menyetujui. ”Sekali-kalilah berpihak pada sopir angkot, pada rakyat. Jangan jegal kebutuhan rakyat,” lanjutnya.
Tampaknya, harapan pengusaha angkot dan sopir angkot masih sangat jauh. Sebab, bukan perkara gampang membangun atau melebarkan jalan. Apalagi membuat jalur khusus untuk koridor TPK, sebagaimana transjakarta di Ibu Kota.
Yang relatif mudah adalah mengatur dan mengurangi jumlah kendaraan angkutan umum izin Provinsi Jawa Barat atau berizin angkutan kota dalam provinsi (AKDP) yang masuk Kota Bogor. Jumlahnya mencapai 4.426 angkot kecil dan sedang. Adapun jumlah angkot izin Pemkot Bogor hanya 3.412 unit, yang seiring dengan kebijakan konversi angkot ke kendaraan ukuran sedang akan jadi 2.712 unit, untuk melayani 80-90 persen wilayah Kota Bogor.
Tidak adil juga apabila angkot Kota Bogor dikurangi, sedangkan angkot AKDP tak dikurangi. Bahkan, pengawasannya terabaikan.
Kesediaan para pengusaha jasa angkutan Kota Bogor berhimpun menjadi badan hukum dan angkotnya yang dikonversi hendaknya memacu Pemkot Bogor dan DPRD Bogor serta Pemprov dan DPRD Jabar benar-benar introspeksi diri dalam membenahi angkutan perkotaan di Kota Bogor, yang kini juga menjadi ”bayangan” ibu kota negara. Tak mudah bukan berarti tidak mungkin. (RATIH P SUDARSONO)