JAKARTA, KOMPAS — Pembangunan kereta ringan atau light rail transit Jakarta terus mengejar batas waktu. Kereta pertama dijadwalkan tiba April 2018 dan langsung diuji coba.
Direktur Utama PT Jakarta Propertindo (pemilik proyek) Satya Heragandhi, Selasa (9/1), mengatakan, pembangunan LRT Jakarta akan selesai sebelum perhelatan Asian Games 2018, Agustus mendatang. Saat ini proses konstruksi terus dikebut.
Secara terpisah, Direktur Proyek LRT Jakarta Allan Tandiono menjelaskan, per akhir Desember 2017, progres konstruksi pembangunan prasarana LRT Jakarta koridor 1 (fase 1 Kelapa Gading-Velodrome) mencapai 52,19 persen. Artinya, memasuki pemasangan rel, sistem persinyalan, dan perangkat fasilitas operasi lainnya.
Dengan jadwal waktu operasional pertengahan 2018, kata Allan, pihak kontraktor pelaksana, yaitu PT Wijaya Karya, masih yakin konstruksi akan selesai Agustus 2018. ”Dengan demikian, LRT Jakarta mulai beroperasi Agustus 2018 juga,” ujar Allan.
Selain konstruksi, PT Jakarta Propertindo juga memantau perkembangan produksi kereta LRT. Per akhir Desember 2017, kereta LRT yang diproduksi Hyundai Rotem (Korea Selatan) mencapai 52 persen.
Hyundai Rotem terpilih karena dinilai mampu memenuhi tenggat produksi dan harga yang cocok. Selain itu, kredibilitas mereka telah diakui dunia.
Fase pertama, PT Jakpro memesan 16 kereta, di mana dalam konfigurasi awal, kereta itu akan menjadi delapan set. Per kereta berkapasitas 270 penumpang. Kapasitas angkut maksimal per hari bisa 90.000 orang. Adapun setiap stasiun maksimal bisa menampung tiga kereta.
Sesuai jadwal, pengujian kereta tanpa penumpang (commisioning) akan dilakukan bulan April 2018, bersamaan dengan kedatangan kereta tahap pertama. Kereta akan siap beroperasi bulan Agustus atau saat Asian Games berlangsung. Kereta berikutnya akan datang secara bertahap.
Cara berpikir
Di tempat terpisah, pengamat tata kota Nirwono Joga mengatakan perlu ada perubahan cara berpikir terkait sejumlah hal, khususnya relasi Jakarta sebagai ibu kota dengan daerah-daerah di sekitarnya. ”Kesalahan mendasar dalam konteks tata kota (selama ini) adalah menganggap Jakarta sebagai kota induk dan daerah-daerah sekitarnya sebagai pendukung,” kata Nirwono.
Dengan pola pikir saat ini, upaya mengurai solusi atas beragam kekusutan di Jakarta, salah satunya kemacetan, hanya berputar-putar pada kebijakan yang seolah memasang bom waktu. Misalnya, pembangunan ruas-ruas jalan tol menuju Jakarta, termasuk ruas-ruas tol baru di dalam kota, pembangunan transportasi massal seperti MRT dan LRT, yang semuanya ditujukan untuk mobilisasi orang menuju Jakarta.
Nirwono yang juga pendiri LSM Kemitraan Habitat menambahkan, beragam persoalan yang salah satunya kemacetan akan cenderung bertambah. ”Kemacetan akan merata ke pinggir-pinggir kota,” ujarnya. (HLN/INK)