Malem minggu, aye pergi ke bioskop. Bergandengan, ame pacar nonton koboi. Beli karcis, tau-tau keabisan. Jage gengsi, terpakse beli catutan. Aduh emak asiknye. Nonton dua-duaan. Kaye nyonye dan tuan di gedongan. Mau beli minuman. Kantong kosong glondangan. Malu ame tunangan kebingungan..." (lirik lagu "Nonton Bioskop", Benyamin Suaeb).
Lagu ciptaan Benyamin sekitar tahun 1967 ini seolah menggambarkan bioskop kelas bawah. Bagi yang uangnya pas-pasan, cerita film bukanlah utama. Bertemu teman, membeli "mimpi" dua jam yang ditawarkan film, hingga istirahat dari rutinitas kerja tampaknya menjadi hal penting. Seperti cerita Edi awal tahun 1980-an. Pemuda asal Pekalongan, yang Minggu siang itu bersama ratusan orang lainnya menonton film Balada Dua Jagoan (garapan Fritz G Schadt) di Bioskop Puncak Jaya, samping Jembatan Tanah Abang. Dengan harga tiket Rp 150, Edi seminggu sekali bisa santai dari rutinitas membantu orangtuanya berjualan nasi di Pasar Tanah Abang. Kondisi di dalam bioskop riuh rendah oleh suara penonton meski film sudah diputar. Saat adegannya seru, tepuk tangan dan siulan penonton terdengar mengalahkan suara film. Kursi penontonnya berbentuk bangku panjang, tanpa nomor. Jika tidak kebagian tempat harus rela berdiri. Edi senang nonton di sini karena "senterannya" (lampu sorot proyektor) terang.
Berbagai usaha ditempuh pengusaha bioskop untuk menjaring orang menonton. Lawalata, Manajer Bioskop Mega, mengkhususkan memutar film Barat dan tiga hari sekali mengganti film. Di bioskop pertama di Rawamangun, Jakarta, yang berdiri sejak tahun 1968 itu, Lawalata menyiapkan 536 kursi dengan harga tiket Rp 350. Tersedianya tempat parkir motor juga menjadi daya tarik penonton, seperti di Puncak Jaya. Di kota Buntok, Kalimantan Tengah, Haryanto mengubah sebuah tongkang berukuran 7 meter x 35 meter menjadi bioskop terapung, Barito Theatre, yang melayani warga desa sepanjang Sungai Barito. Setiap malam, dua judul film diputar, bergantian film India, Barat, dan Indonesia. Dengan harga tiket Rp 600-Rp 700, semua kursi yang berjumlah 300 buah selalu penuh saat film dang dut.
Namun, tidak semua fasilitas yang nyaman membuat penonton senang. Jok kursi empuk di Bioskop Mega malah disobek-sobek. Saat diganti dengan jok besi, tempelan permen karet sering didapati di situ. Ketika ruang WC dibuat bagus, jarang ada yang masuk. Mereka lebih senang buang air kecil sembarangan di luar bioskop. Lain lagi di Bioskop Wijaya, Jakarta Utara. Saat memutar film India berjudul Waqt Ki Deewar yang dibintangi Jeetendra, filmnya putus cukup lama. Penonton mengamuk, melempar dan membantingi kursi. Menghindari kejadian serupa, kursi-kursi penonton pun disatukan dengan dipaku agar tidak mudah diangkat.