JAKARTA, KOMPAS — Riset ilmu-ilmu sosial terkait problematika penduduk dan kemanusiaan di Jakarta sangat sedikit dilakukan. Ini membuat pedoman komprehensif arah pembangunan tidak dimiliki dan cenderung menihilkan kajian kesejarahan.
Pegiat lingkungan Ahmad Safrudin, Jumat (19/1), di Jakarta mengatakan, hasil riset yang sedikit itu sebagian besar juga tidak dipublikasikan. Ini terlihat dari jumlah publikasi ilmiah Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2013 dan 2014.
Pada 2013, dari 35 makalah, termasuk makalah internasional, yang dipublikasikan, tak ada yang memakai kata kunci ”Jakarta” atau ”Jabodetabek”. Adapun dari 19 publikasi buku pada tahun yang sama, hanya satu terbitan berjudul Provinsi DKI Jakarta: Ibu Kota yang Belum Istimewa sebagai bagian buku dengan judul Indonesia Governance Index 2012: Tantangan Tata Kelola Pemerintahan di 33 Provinsi.
Pada 2014, ada satu dari delapan jurnal yang membahas Jakarta, yaitu ”Pola Pengeluaran dan Gaya Hidup Penduduk Muda Kelas Menengah: Studi Empiris Perkotaan di Jabodetabek”. Juga hanya satu artikel jurnal internasional dari tiga artikel yang terkait Ibu Kota, yaitu berjudul ”Managing Environment Urban Growth Based on Transit Oriented Development in the Metropolitan of Jabodetabek, Indonesia”. Untuk kategori makalah, ada dua judul yang terkait Jakarta dari 21 judul yang ada.
Kajian kesejarahan ihwal Jakarta dan pembentukan kota-kota juga sering diabaikan sehingga pengelolaannya pada masa kini cenderung mencerabut manusia dan budaya dari akarnya. ”Kita tak punya konsep kota. Kalau (konsep) bandar ada,” kata peneliti Pusat Penelitian Sumber Daya Regional LIPI, Saiful Hakam.
Hakam menambahkan, tidak dipahaminya sejarah pembentukan pusat-pusat aktivitas cenderung membuat sebagian warga tidak lagi memiliki pemahaman dan rasa memiliki terhadap Jakarta. Ia mencontohkan sejumlah bangunan yang pada masa lalu merupakan lokasi penting dalam pembentukan Jakarta atau bahkan Indonesia saat ini telah kehilangan marwahnya.
Kecenderungan tidak dipahaminya peradaban kota, menurut Hakam, terlihat dari keengganan sebagian kalangan masyarakat untuk turut bersama-sama menggunakan transportasi publik. ”Jadi ini (Jakarta) adalah desa besar di Asia Tenggara,” sebutnya.
Peneliti bidang ekologi manusia Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, Ali Yansyah Abdurrahim, pada hari yang sama mengatakan, sedikitnya riset sosial ihwal Jakarta dipengaruhi sejumlah hal. Misalnya, basis keberadaan peneliti dan lokasi penelitian yang idealnya dilakukan secara lintas provinsi, juga karena relatif minimnya dana riset berdasarkan standar biaya keluaran umum. Menurut Ali, dana riset per orang per hari di Jakarta Rp 110.000, sementara di Jawa Barat Rp 465.000 per orang per hari.
Sebelumnya, Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan LIPI Tri Nuke Pudjiastuti juga menyebutkan, penghargaan negara terhadap riset yang dilakukan di Jakarta masih kurang. ”Repotnya, negeri ini (relatif) tidak menghargai riset di Jakarta,” ujar Nuke. (INK)