JAKARTA, KOMPAS — Solusi jangka pendek cenderung tidak ada dalam konteks perencanaan kota. Namun, solusi jangka pendek ini cenderung mengemuka di Jakarta sehingga lebih bernuansa politik ketimbang menjadi kebijakan publik yang solutif.
Hal itu menjadi sebagian topik yang mengemuka dalam diskusi bertema ”100 Hari Anies-Sandi: Arah Jakarta Vs Branding Politik” yang digelar lembaga kajian kebijakan independen PARA Syndicate, Jumat (26/1), di Jakarta. Ahli tata kota Yayat Supriyatna, pengamat kebijakan publik Agus Pambagio, dan pengamat politik Ray Rangkuti hadir dalam sesi yang dipandu Direktur PARA Syndicate Ari Nurcahyo itu.
Yayat mengatakan, solusi jangka pendek itu misalnya tawaran kepemilikan rumah dengan uang muka (DP) nol rupiah. Padahal, yang jadi persoalan dan relatif tidak diselesaikan adalah keterjangkauan harga di tingkat masyarakat. ”Dari (sudut pandang) gimmick (trik menarik perhatian) politik dan gimmick marketing, (ini) menarik,” katanya.
Namun, belum siapnya instrumen untuk mendampingi kebijakan tersebut ditandai dengan belum dibentuknya badan layanan umum daerah untuk melayani proses kepemilikan rumah. Akibatnya, terjadi kevakuman hukum.
Ini belum ditambah tantangan lain, semisal rencana penggunaan sebagian dana APBD untuk menyubsidi pembayaran uang muka rumah. Rencana ini bisa saja menjadi tanggungan politik di kemudian hari.
Menurut Yayat, dari sudut pandang tata kota, saat ini Jakarta lebih membutuhkan manajer kota alih-alih manajer politik. ”Persoalan tata kota tidak akan (bisa) selesai dengan narasi,” sebutnya.
Sementara menurut Agus, salah satu hal yang mesti diingatkan adalah keberadaan Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) yang cenderung diarahkan sebagai lembaga struktural.
”TGUPP ini lembaga fungsional, bukan struktural,” kata Agus.
Ia menambahkan, jika TGUPP terlalu dominan dan cenderung mengambil porsi lembaga-lembaga formal, konsekuensinya cenderung negatif. Selain relatif merusak sistem birokrasi, program-program yang ditetapkan bisa jadi tidak berjalan.
Sementara Ray mencatat janji kampanye dan fakta di lapangan yang relatif dikesankan berjalan. Ini menjadi aspek komunikasi untuk membangun persepsi. Ia menambahkan, hal-hal itu terlihat dalam isu reklamasi Teluk Jakarta, penataan pedagang kaki lima di Tanah Abang, kepemilikan rumah dengan DP nol rupiah, dan program kewirausahaan OK OCE.
Hal tersebut ditambah dengan kecenderungan membela kelompok masyarakat tertentu lewat sejumlah kebijakan yang dipersepsikan berada dalam semangat ideologis serupa. ”Ini yang kita sebutkan dalam konteks branding,” ujar Ray. (INK)