Penyalahgunaan narkoba di kalangan pelajar dinilai kian mengkhawatirkan. Narkoba jenis baru bermunculan membuat penetrasi barang terlarang itu menguat di semua kalangan. Siapa pun, pekerja hingga pelajar, kaya atau miskin, rentan peredaran zat psikotropika itu.
Badan Narkotika Nasional mencatat, jumlah pemakai narkoba meningkat drastis tiga tahun terakhir. Tahun 2014, tercatat 4,9 juta pengguna narkoba, sedangkan tahun 2016 melonjak menjadi sekitar 6 juta jiwa.
Temuan pabrik narkoba dan narkoba jenis baru juga kian sering masuk dalam pemberitaan media massa. Dari semua kasus narkoba, peredaran narkoba di kalangan pelajar dinilai paling mengkhawatirkan. Itu diungkapkan separuh lebih responden jajak pendapat Kompas, awal Januari lalu.
Penggunaan narkoba di kalangan anak muda itu tak hanya berdampak pada kesehatan. Namun, juga memunculkan perilaku buruk, misalnya pencurian hingga terlibat peredaran narkoba.
September 2017, publik dihebohkan kasus siswa sekolah mabuk obat keras pil PCC (paracetamol, caffein, carisoprodol) di sejumlah daerah. Penggunanya tak sadarkan diri, meraung-raung seperti kesurupan, hingga meninggal. Di Kendari, Sulawesi Tenggara, dua remaja tewas dan 57 dirawat intensif seusai menelan pil PCC (Kompas, 15/9/2017).
Keprihatinan sebagian warga itu beralasan. Data Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia, 27,32 persen pengguna narkoba di Indonesia berasal dari kalangan pelajar dan mahasiswa. Itu urutan kedua pengguna narkoba berdasarkan profesi, setelah kelompok pekerja (pejabat, pegawai negeri, karyawan swasta, dan lain-lain) yang mencapai 50 persen.
Angka prevalensi pelajar yang dalam setahun pernah menggunakan narkoba tertinggi di Jakarta. Disusul DI Yogyakarta, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, dan Sumatera Barat.
Munculnya berbagai narkoba jenis baru juga menjadi kekhawatiran tersendiri bagi 16 persen responden. Jenis narkoba baru, di antaranya narkoba cair, pil PCC, hingga cairan rokok elektrik (vape). Kehadiran variasi baru itu rentan digunakan anak muda yang penasaran pada kebaruan dan cenderung ikut-ikutan. Misalnya, kandungan sabu dan ganja sintetik pada vape.
Mayoritas responden (52,8 persen) sepakat jika salah satu upaya penting pencegahan pemakaian narkoba dimulai dari pendidikan dari keluarga. Orangtua hendaknya mengingatkan dan mengawasi setiap saat.
Tanggung jawab
Lingkungan terdekat juga harus berperan maksimal mendidik dan mengontrol perilaku anak. Ciri-ciri orang positif narkoba bisa dilihat dari perubahan fisik, kondisi kesehatan, hingga perilaku menggunakan uang.
Penelitian Puslitdatin BNN (2017), 42 persen pecandu pelajar menghabiskan uang saku untuk beli narkoba. Namun, ada juga 22 persen yang menggunakan upah/gajinya.
Lebih dari itu, di tengah kondisi darurat narkoba, masyarakat hendaknya lebih peka dengan sekitar. Itu dianggap penting oleh lebih dari sepertiga responden. Caranya bisa mengawasi kegiatan anak muda di lingkungan serta melaporkan jika ada kecurigaan pemakaian narkoba. Peran kelembagaan masyarakat (RT dan RW) pun harus maksimal.
Hingga akhir 2017, BNN mengungkap lebih dari 46.000 kasus narkoba dengan barang bukti 4,7 ton sabu, lebih dari 151 ton ganja, dan 2,9 juta butir ekstasi. Jumlah ini meningkat drastis dari tahun sebelumnya. Peningkatan jumlah pengungkapan kasus narkoba itu menunjukkan keseriusan negara memeranginya. Lebih dari 42 persen responden mengapresiasi.
Di sisi lain, 51 persen responden berpendapat penindakan dalam memberantas peredaran narkoba belum tegas dan tebang pilih. Itu bisa jadi terkait adanya keterlibatan oknum berwenang dalam rantai bisnis barang terlarang tersebut.
Narkoba adalah musuh besar bersama. Perang terhadap narkoba harus dilakukan dengan menguatkan dukungan semua lini masyarakat. Kolaborasi antara masyarakat, aparat pemerintah, dan kepolisian diharapkan dapat semakin mempersempit ruang gerak peredaran narkoba, terutama di kalangan anak muda.