Kebutuhan Kapal Belum Terpetakan
Data Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI, total wisatawan Kepulauan Seribu selama 2017 mencapai 878.971 orang, dengan rincian 850.240 wisatawan Nusantara dan 28.731 wisatawan mancanegara. Itu meningkat dibandingkan dengan 2016, yakni 807.330 wisatawan, terdiri dari 785.260 turis domestik dan 22.070 turis asing. Meski naik, jumlah turis asing per tahun masih jauh dari target 2019. Jumlah turis asing pada 2019, dengan demikian, mesti naik 17,4 kali lipat dibandingkan dengan 2017.
Namun, dengan jumlah turis seperti pada 2017 saja, Dishub DKI masih memandang jumlah kapal Dishub tidak memadai. Dishub mengoperasikan setidaknya delapan kapal penumpang rute Kali Adem-Kepulauan Seribu, yaitu dua Kapal Motor Catamaran yang masing-masing berkapasitas 80 penumpang dan enam KM Kerapu berkapasitas 27 penumpang.
”Kalau hari biasa masih cukup ya, tetapi kalau akhir pekan dibantu kapal-kapal tradisional. Kalau tidak, bakal tidak terangkut,” ujar Renny.
Data dari pengelola Pelabuhan Kali Adem, selama Januari 2018, terdapat 24.365 penumpang berangkat ke Kepulauan Seribu dan 30.335 penumpang tiba di Kali Adem. Sebanyak 315 kapal bertolak dari Kali Adem dan 342 kapal mendarat dalam sebulan.
Perbedaan jumlah penumpang yang berangkat dari Kali Adem pada hari biasa dan akhir pekan amat mencolok. Jumlah penumpang yang berangkat pada hari Sabtu selalu pada angka ribuan, sedangkan pada hari biasa umumnya ratusan penumpang.
Jaminan keselamatan
Selain persoalan jumlah kapal, kualitas kapal rute Kali Adem- Kepulauan Seribu beserta krunya juga masih jadi pekerjaan rumah, terutama untuk menjamin keamanan dan keselamatan penumpang. Ini khususnya untuk kapal tradisional yang materialnya mayoritas dari kayu.
Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Kelas V Muara Karang/Muara Angke mencatat, 50 kapal penumpang biasa bersandar di Kali Adem. Sebanyak 39 kapal merupakan kapal tradisional yang biasanya dioperasikan penduduk pulau di Kepulauan Seribu. Adapun 8 kapal milik Dishub DKI, 1 kapal bernama KM Express Bahari 3B merupakan milik swasta dan tergolong kapal cepat, serta 1 kapal—KMP Arwana— berasal dari PT Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP) Indonesia Ferry.
Pada Oktober 2017, KSOP Kelas V Muara Karang/Muara Angke melayangkan surat peringatan pertama kepada semua operator dan pemilik kapal tradisional karena syarat-syarat untuk beroperasi belum lengkap, misalnya, ada yang belum memiliki surat izin usaha pelayaran rakyat (siuper) dan ada yang alat keselamatannya belum memadai.
Jika para pemilik dan awak kapal tradisional tak mengindahkan surat peringatan itu, KSOP tak menerbitkan surat persetujuan berlayar (SPB). Nakhoda yang berlayar tanpa SPB bisa dipidana penjara maksimal 5 tahun.
Nakhoda KM Bisma II, Mohamad Amin, mengatakan, pihaknya berusaha memenuhi semua persyaratan. Ia menunjukkan sertifikat keselamatan KM Bisma II yang dikeluarkan KSOP Kelas V Muara Karang/Muara Angke.
Namun, kapal ini belum dilengkapi siuper. Padahal, Amin sudah mengajukan pembuatan siuper sejak enam bulan lalu. Ia mendapat kabar, pejabat Pelayanan Terpadu Satu Pintu DKI belum bisa menandatangani. ”Seminggu setelah memberikan berkas, saya tanyakan, belum jadi. Minggu kedua, sebulan, sampai sudah sekitar enam bulan, masih belum jadi,” kata Amin.
Meski demikian, Amin tetap mendapat SPB untuk bertolak dari Kali Adem ke Pulau Tidung, termasuk pada Jumat (2/2) pagi.
Batas waktu April 2018
Kepala KSOP Kelas V Muara Karang/Muara Angke Captain Wahyu Prihanto mengatakan, para pemilik dan awak kapal penumpang tradisional diberi waktu setahun untuk memenuhi persyaratan beroperasi. Tenggat waktunya April 2018.
Namun, Wahyu belum memastikan apakah kapal tradisional dengan syarat belum lengkap langsung dilarang beroperasi di Kali Adem atau tidak pasca-April nanti. Apalagi, beroperasinya kapal tradisional juga menunjang transportasi wisatawan serta warga lokal pulau. ”Sebelum April, kami akan rapat dulu dengan pengelola pelabuhan, dengan Dishub,” ucapnya.
Meski demikian, Wahyu memandang para pemilik dan awak kapal tradisional punya itikad baik melengkapi persyaratan. Ia mengklaim, standar keselamatan kapal sudah meningkat.
Sekarang, KSOP senantiasa memastikan, kapasitas kapal tidak terlampaui dan nama penumpang sesuai manifes. Kapal juga memiliki rompi pelampung dengan jumlah cukup untuk semua penumpang, Semua kursi penumpang terpasang hanya di lantai satu, tidak di lantai dua.
Faktor keselamatan di kapal tradisional ini mendapat perhatian nasional ketika KM Zahro Express terbakar di perairan Teluk Jakarta, 1 Januari 2017. Sebanyak 24 penumpang tewas. Kapal membawa 238 orang, tetapi di manifes terdata 100 orang.
Pakar transportasi dari Universitas Katolik Soegijapranata, Djoko Setijowarno, berpendapat, kapal-kapal kayu yang masih beroperasi harus diganti kapal baru yang lebih cepat dan memenuhi standar pelayanan minimum kapal penumpang. Pemilik kapal dapat dibantu dengan subsidi operasional asalkan menggunakan kapal berstandar.
”Perbankan pasti mau memberikan modal pinjaman jika ada kepastian subsidi operasional dari pemprov,” ujar Djoko.