Bersama Menata Sungai untuk Atasi Banjir
Berbagai program penanggulangan banjir di Ibu Kota berdampak baik. Sejumlah lokasi banjir mulai berkurang. Penataan kawasan sungai diminta agar rutin dilakukan.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bersama Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat telah menjalankan antisipasi banjir lima tahun terakhir. Antisipasi itu antara lain program normalisasi sungai, waduk, serta saluran air yang diikuti dengan penertiban bangunan di bantaran sungai.
Sodetan dari Sungai Ciliwung ke Kanal Timur terus dikerjakan. Hingga Februari, sekitar 1,2 kilometer persegi lahan di dekat Jalan Otista hingga Sungai Ciliwung menunggu pembebasan oleh pemerintah daerah setempat. Tanggul pantai pencegah banjir rob baru berjalan 5 persen dari target 20 km.
Sejalan dengan itu, lokasi banjir di Jakarta terus berkurang. Badan Penanggulangan Bencana Daerah DKI mencatat, pada 2013 banjir menggenangi 538 RW di 124 kelurahan. Tahun 2017, tinggal 201 RW di 57 kelurahan yang masih banjir.
Upaya pemerintah mendapatkan respons postif warga Jakarta. Sekitar 35 persen responden jajak pendapat Kompas mengapresiasi keseriusan pemerintah mengatasi banjir. Enam dari sepuluh responden optimistis upaya itu akan membebaskan Jakarta dari banjir.
Namun, hampir separuh responden berpendapat penanganan banjir oleh pemerintah masih sama dan lebih buruk. Penanganan yang dilakukan pemerintah sejauh ini berupa upaya struktural, seperti pengerukan sedimentasi dan pelebaran badan air, pembuatan saluran air baru, penambahan pompa air, serta pembangunan polder.
Upaya nonstruktural, seperti pengendalian pembangunan di hilir DAS, revitalisasi situ, memperbanyak daerah resapan di hulu, serta koordinasi antarwilayah Jabodetabek dalam pengendalian banjir, belum sepenuhnya dilakukan.
Penilaian ketidakoptimalan itu membuat 61 persen warga skeptis Jakarta akan bebas banjir. Topografi Jakarta yang serupa mangkok miring menjadikannya rawan banjir. Ketiga belas aliran sungai yang melewati Jakarta dan bermuara di Teluk Jakarta cenderung berbalik dan terjebak di cekungan besar ini.
Upaya penataan sungai dengan pengerasan dinding, pembangunan sudetan, tanggul, dan pengerukan sungai atau disebut normalisasi dinilai sepertiga responden sebagai solusi tepat untuk mengatasi banjir. Normalisasi berhasil meningkatkan kapasitas daya tampung sungai.
Sepanjang 2017, Dinas Sumber Daya Air Jakarta berupaya melakukan normalisasi beberapa sungai, yakni Sungai Pesanggrahan, Ciliwung, Angke, dan Sunter. Penyelesaian proyek itu masih berjalan karena kendala pembebasan lahan dan keterbatasan anggaran. Kelanjutan penataan sungai masih berjalan melalui pembahasan di Musrenbang guna menampung partisipasi dan inisiatif warga.
Penataan sungai membawa manfaat bagi warga. Contohnya di Kelurahan Bukit Duri. Luapan air sungai setinggi 4 meter pada 2013 kini hanya 10-30 sentimeter sehingga warga tak perlu mengungsi (Kompas, 8/2).
Penertiban permukiman di sempadan sungai juga dinilai oleh 16 persen responden sebagai salah satu cara meminimalisasi potensi banjir Jakarta. Di beberapa wilayah, sungai selebar 10 meter tersisa hanya 2 meter lantaran digunakan untuk hunian. Sungai menyempit mengurangi daya tampungnya. Jika hujan lebat, sungai tidak bisa menampung limpahan air.
Kesiapan warga
Usaha pemerintah mengatasi banjir tidak akan optimal tanpa keterlibatan warga. Hampir tiga perempat responden menyadari hal ini dengan berperan aktif membersihkan saluran air di lingkungan mereka. Saluran air di Jakarta sering kali tersumbat karena perilaku warga membuang sampah sembarangan. Selain itu, tindakan menutup bagian atas saluran air dengan cor beton juga semakin menyulitkan upaya pembersihan.
Sebagian kecil warga mencegah banjir dengan membuat barikade karung pasir atau sumur resapan di sekitar rumah. Inisiatif membuat sumur resapan sangat penting mengurangi aliran air permukaan.
Meredam banjir di Ibu Kota memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Pemerintah dan warga perlu bahu-membahu mengatasi persoalan banjir dari hulu sampai hilir.
(ANTONIUS PURWANTO/Litbang Kompas)