Cuma Datang dan Pergi
Indonesia dengan lebih dari 250 juta jiwa penduduknya menjadi pasar besar nyaris bagi produk apa pun, termasuk barang haram narkoba. Jakarta sebagai kota terbesar di Indonesia sekaligus ibu kota pun menjadi tempat utama perang melawan narkoba. Namun, perang itu seperti tak kunjung usai.
Merunut pemberitaan harian ini, setidaknya sejak lebih dari 40 tahun silam berbagai upaya di dalam negeri ataupun kerja sama luar negeri dilakukan demi meredam negeri ini menjadi pasar obat bius. Pada 11 Juli 1970, Kompas memberitakan Kepala Polri Irjen Dr Awaloedin membicarakan pemberantasan obat bius dengan Menteri Bea dan Cukai Australia Mr Chipp. Di akhir 1970, Interpol dan negara-negara di dunia kewalahan menanggulangi perdagangan ganja dan obat bius yang mampu menembus batas wilayah administrasi dan hukum setiap negara.
Dari tahun 1970-an itu hingga kini, pemberitaan yang mirip berulang kali muncul. Sebutan obat bius digantikan dengan narkotika dan obat-obatan berbahaya alias narkoba. Para pengedar, pembuat, dan pengguna merasuk hingga ke kampung-kampung. Ada yang hanya jaringan lokal, tetapi ada juga yang menjadi bagian dari jaringan nasional ataupun internasional.
Jakarta Barat, misalnya, satu dari lima kota administrasi di wilayah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dinyatakan darurat narkoba. Jumat (9/2), Kepala Polres Metro Jakarta Barat Komisaris Besar Hengky Haryadi menyatakan, kota itu darurat narkoba. ”Tahun lalu, kasus kejahatan di Jakarta Barat meningkat 27 persen dan 41 persennya adalah kasus narkoba,” tuturnya.
Sejak konsumsi ekstasi dan sabu meluas di Jakarta pada pertengahan 1990-an hingga sekarang, Jakarta Barat selalu di peringkat atas dalam kasus penyalahgunaan narkoba. Di sejumlah tempat hiburan malam, apartemen, di Kampung Boncos-Palmerah dan Kampung Permata (dulu Kampung Ambon) Cengkareng, di sanalah uang narkoba berputar melimpah.
Berulang kali jajaran polsek, polres, polda, hingga Polri dan Badan Narkotika Nasional (BNN) melakukan operasi di Jakarta Barat dengan jumlah barang bukti fantastis. Namun, berulang kali pula muncul pemain baru jaringan lama Malaysia dan China. Seluruh penjara yang kelebihan penghuni karena kasus narkoba tak membuat belitan narkoba reda.
”Jalur sutra” lintas Sumatera dari Aceh sampai Lampung yang dulu jalur ganja kini jadi jalur sabu dari Malaysia dan China.
Mengapa kasus narkoba tak pernah surut? Sebab, selama ini, polisi lebih banyak bekerja sendiri. Karena terbatasnya dana, polisi lebih banyak melakukan tindakan represif, seperti penggerebekan dan penangkapan. Tindakan penyuluhan (premtif) dan pencegahan (preventif) nyaris tak pernah di sentuh.
Hengky pun berupaya merintis program pencegahan dengan melibatkan warga dan pamong masyarakat setempat. Hal serupa pernah dilakukan pendahulunya, tetapi seperti biasa, begitu ganti pejabat program seperti ini turut menguap.
Jadi, tantangan berikutnya adalah merawat program agar tetap berkelanjutan meski pimpinan datang dan pergi. Biar kita tak terus terjebak dalam ”pasar narkoba”, ”darurat narkoba”, juga ”perang narkoba”. Kerugian dan korban sudah terlalu banyak!
(NEL)