Cina Udik, Kisah Akulturasi Budaya
Sembari menikmati rambutan hasil dari kebun sendiri, ia duduk melipat kaki di atas bangku panjang yang terbuat dari bambu di paseban atau teras rumahnya. Teras rumahnya berfungsi sebagai balai, tempat menerima tamu umum atau jika ada acara. Lokasi sawah miliknya secara turun- temurun hanya berjarak sekitar 10 meter, persis di seberang jalan dari rumahnya.
Rumah dan sawah peninggalan leluhur itu dikelola Kong, anak keempat dari enam bersaudara. Tinggal dua saudara kandung Kong yang masih hidup dan tinggal berdekatan dengannya.
”Ayah engkong (ayah dari kakek Kong) yang punya rumah dan lahan pertanian ini. Saya mah baru nyangkul sendiri sejak 73 (tahun 1973). Sampai sekarang kerjaannya ngluku nyawah,” kata Kong dengan logat Sunda kental. Sejak usia 10 tahun, Kong juga sudah membawa dan memandikan kerbau.
The Pin Nio (63), istrinya, sedang memasak di dapur. Meski di dapurnya ada kompor gas, Nio tetap menggunakan salah satu dari tiga tungku yang berderet di lantai untuk menanak nasi dengan periuk tanah liat. ”Tungku ini sudah kolot. Henteu terang umurna,” kata Nio.
”Sejak lahir saya sudah tinggal di sini. Yang saya ingat, ayahnya engkong tinggal juga di rumah ini,” cerita Kong yang memiliki 6 anak dan 9 cucu.
Kong adalah satu dari sekian ratus penduduk Kampung Cukanggalih. Sebagian besar yang tinggal di tempat itu adalah warga keturunan China. Kehidupan keseharian mereka adalah petani. Selain menanam padi, mereka juga memiliki lahan kebun luas yang ditanami rambutan, melinjo, dan lainnya. Sebagian anak dan cucu mereka bersekolah menempuh pendidikan tinggi dan membuka usaha di luar kampung.
Mereka adalah masyarakat Cina Udik. ”Kami mah orang Cina Udik. Beda dengan Cina Benteng. Kalau kami mah Cina yang tinggal di kampung. Kalau Cina Benteng tinggalnya di kota (Kota Tangerang),” ujar Kong.
Kong tidak mewarisi banyak cerita mengenai leluhurnya. Yang diketahuinya, ia adalah keturunan keempat dari marga Oen. Yang membangun rumah ini adalah Oen Jin Seng.
Sama juga dengan Tjoen Teh (70), petani di kampung Nalagati, Kelurahan Mekarbakti, Kecamatan Panongan, yang mewarisi rumah, sawah, dan kebun dari leluhurnya. Menjelang Imlek, selain bercocok tanam, ia memproduksi dodol dan kue keranjang dengan bahan utama beras dari hasil panen sawah miliknya.
Rumah kebaya
Salah satu ciri khas dari masyarakat Cina Udik adalah rumah kebaya sebagai tempat tinggal. Rumah tradisional berukuran besar dan luas ini sebagian besar terbuat dari kayu nangka. Tidak ada yang mengetahui secara pasti asal-usul dan alasan disebut rumah kebaya.
Bagian depan atau halaman atau lamporan digunakan untuk menjemur padi. Selanjutnya, paseban seperti teras tempat menerima tamu. Saat panen padi, ruangan ini juga untuk mengumpulkan hasil panen. Kertas kuning emas atau merah bertulisan huruf China di atas pintu dan tempat hio berada di sampingnya.
Setelah paseban, terdapat ruang tengah. Antara paseban dan ruang tengah terdapat pintu masuk yang di bagian bawahnya terdapat kayu palang. Kayu ini biasanya terbuat dari kayu
sentul.
”Setiap orang yang masuk tak boleh menginjakkan kaki di atas kayu palang. Ia harus melangkah. Jika menginjak kayu, berarti menyinggung dan tidak menghargai tuan rumah,” kata Nio saat mengajak jalan mengelilingi rumah kebaya warisan leluhur suaminya.
Secara tradisi, ruang tengah adalah tempat paling privat dan sakral. Kecuali saat upacara penting, ruangan ini hanya terbuka untuk keluarga dan kerabat dekat. Dinding samping ruang altar biasanya dipenuhi foto kejadian penting, seperti foto leluhur, pernikahan, dan wisuda.
Biasanya ada dua kamar di setiap sisi ruang tengah. Sisi kiri untuk orangtua dan anak laki-laki, sisi kanan untuk anak perempuan. Di kanan-kiri meja sembahyang ada pintu menuju gang pendek ke ruang tengah.
Selanjutnya, Tiang Xin atau Jantung Langit. Sesuai dengan namanya, ruangan ini sangat luas. Ada sebuah lubang seperti kolam yang berhadapan dengan pintu keluar dari ruang tengah. Atap sumur terdapat lubang untuk masuk-keluar udara. Di pojok kanan lubang itu terdapat lubang saluran untuk mengeluarkan air saat terjadi hujan agar tidak menggenang.
Ruangan ini merupakan tempat berkumpul keluarga besar untuk mempersiapkan segala makanan ketika ada pesta sekaligus tempat beristirahat.
Kemudian terdapat ruangan besar. Sesuai dengan namanya, ruangan ini sangat luas sebagai tempat keluarga besar berkumpul dan bersantai. Di sisi kiri ruangan besar ini ada dapur dan sisi kanan kamar mandi. Sumur tua terdapat di luar bangunan bersebelahan dengan dapur.
Rumah kebaya juga menjadi salah satu koleksi dari Rumah Kayu Goen di Kampung Cipari, Desa Ciakar, Kecamatan Panongan. Juga Rumah Kawin Tan Kim Yok di Kedaung Wetan, Neglasari, Kota Tangerang, Banten (Kompas, 9 November 2015).
”Kalau bangunan aslinya mah tidak ada teralis besi (yang terdapat pada jendela pembatas paseban dengan lampora). Kami memasang teralis karena banyak pencurian saat panen. Bambu dan genteng atap paseban ini diganti sekitar tahun 1946 sampai 1947,” ucap Nio.
Tujuh generasi
Pemerhati dan budayawan China, Oey Tjin Eng, menjelaskan, masyarakat Cina Udik adalah mereka yang tinggal di perkampungan di Kabupaten Tangerang, seperti di Panongan, Curug, dan Legok. ”Mereka tak tersinggung disebut Cina Udik. Mereka memegang teguh ajaran nenek moyang memelihara keaslian genetis,” katanya.
Tidak ada satu pun cerita lisan dan tulisan mengenai kedatangan leluhur Cina Udik di Tangerang. ”Yang saya tahu, yang tinggal di wilayah yang disebut Cina Udik ini ada yang sudah tujuh generasi,” ujar Eng.
Menurut dia, yang membedakan Cina Udik dan Cina Benteng adalah sebagian besar Cina Udik masih tinggal di rumah kebaya. Rumah kebaya atau rumah kongsi dulu hanya milik orang kaya atau tuan tanah.
Masyarakat Cina Udik di Panongan, Legok, dan Curug terbagi dalam sekitar 25 marga. Akan tetapi, kata Eng, hingga kini marga yang masih bertahan adalah Oey (baca: Wi), Oen, Nio, dan Kwee. Yang paling besar, tetapi tidak terlalu dominan adalah marga Oen. ”Warga Cina Udik ini sudah ada sebelum peristiwa pemberontakan China 1740 di Batavia,” katanya.
Dalam buku Sejarah Kabupaten Tangerang tahun 2004, penduduk daerah ini disebut memang heterogen, terdiri dari Sunda, Jawa, Betawi, dan China.
Awalnya penjajah memberikan tanah kepada orang-orang China, Arab, dan Eropa karena dianggap berjasa kepada kompeni. Gubernur Jenderal HW Daendels lalu membuka kesempatan luas kepada warga untuk menyewa tanah partikelir. Persil-persil tanah sebagian dikuasai tuan tanah China.
Masa berlalu, zaman berubah. Tak ada lagi penjajah, tetapi pembauran terus terjadi. Terbentuklah masyarakat Kabupaten Tangerang saat ini, termasuk di dalamnya Cina Udik.