BOGOR, KOMPAS — Jumlah luasan hutan konservasi di kawasan Puncak diharapkan bertambah. Itu bisa dari perubahan status perkebunan teh yang akan habis hak guna usahanya, lalu dipulihkan menjadi hutan konservasi di bawah Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat.
”Saya pastikan kawasan hutan konservasi di Bogor clear, tidak ada kerusakan atau gangguan. Kalau di kawasan hutan lindungnya, bukan wewenang kami,” kata Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Jawa Barat Sustyo Iriyono di Bogor, Rabu (14/2).
Klaim itu termasuk keberadaan resor di Telaga Warna, yang disebut sudah mengantongi izin sejak lama. Resor juga dibangun berdasar kaidah konservasi, antara lain bangunan dan jalan dari kayu dan di atas tanah. Pemanfaatan lahan konservasi kawasan Telaga Warna itu 2 hektar.
Menurut Sustyo, pihaknya berupaya lahan di depan kawasan Telaga Warna, berupa kebun teh, yang akan habis hak guna usahanya, diserahkan ke BKSDA untuk dijadikan hutan konservasi.
”Kami harus mencermati perkebunan-perkebunan yang akan habis masa HGU. Jangan sampai nanti berubah fungsi jadi permukiman atau penuh bangunan masif. Apalagi kalau berlokasi di ketinggian,” katanya.
Saat ini, Balai Besar KSDA Jawa Barat menguasai dan bertanggung jawab atas 50 kawasan konservasi seluas 85.000 hektar. Dua tahun ke depan, mereka bertekad menambah luas.
Masalah alih fungsi lahan di Puncak mengemuka menyusul longsor di Cisarua yang menewaskan satu orang dan melukai setidaknya empat orang. Longsor juga membuat jalur Puncak ditutup sepuluh hari, salah satu penutupan jalan utama terlama.
Sejumlah pakar dan pengambil kebijakan menegaskan, banyak aturan yang mendorong pemulihan kawasan dan daya dukung lingkungan. Persoalannya, tidak ada aksi atau keberanian para pihak untuk memastikan.
Peneliti bidang Antropologi Perkotaan Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Rusli Cahyadi, mengatakan, studi terkait dengan alih fungsi lahan, peningkatan aliran permukaan air, dan banjir kiriman merupakan topik yang banyak diteliti dan banyak direkomendasi.
Namun, hasilnya tidak pernah serius diolah jadi landasan kebijakan. ”Pemerintah pusat dan daerah tak mau (bukan tak punya kapasitas) menyelesaikan persoalan mendasar dan komprehensif,” katanya (Kompas, 7/2).
Optimistis
Terkait lahan HGU bermasalah yang bisa dialihfungsikan lagi jadi hutan konservasi, Sustyo optimistis. Itu sejalan dengan adanya kesadaran pemda, DPRD, dan komunitas yang menginginkan hutan di wilayahnya diperluas. ”Contohnya, pemda dan DPRD Ciamis sudah bersurat ke Perhutani meminta lahan HPH untuk memperluas hutan Gunung Sawah. Di Purwakarta, masyarakat mendesak agar hutan Gubung Sanggabuana menjadi kawasan konservasi,” katanya.
Saat ini, hutan konservasi BKSDA yang rusak atau terganggu seluas 3.500 hektar, yang tersebar di sejumlah titik di 5 dari 50 kawasan hutan konservasi. Dari luas itu, 600 hektar sudah ditangani pada 2017 dan sisanya tahun ini.
Pekan ini, BKSDA Jawa Barat bersama pihak Perhutani akan melihat kondisi kerusakan tepi hutan konservasi yang berbatasan langsung dengan hutan produksi Perhutani. ”Lokasinya di Sukabumi, Cianjur, Garut, dan Ciamis. Di Bogor tidak ada,” katanya.
Pembangunan waduk
Terkait dengan pembangunan waduk kering di kawasan Puncak, Jarot Widyoko, Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, menjelaskan, pembebasan lahan masih jadi masalah utama dalam normalisasi, pembuatan sudetan, dan waduk.
Untuk mengurangi volume air dari hulu atau Puncak, BBWSCC merencanakan pembangunan dua waduk kering atau dry dam di Ciawi dan Sukamahi, Bogor. Lalu, membuat sudetan di Kali Ciliwung dan menormalisasi sungai.
Agus Safari, Kepala Satuan Kerja Waduk BBWSCC menerangkan, pembangunan kedua waduk kering itu penting untuk memangkas atau mengurangi puncak banjir, khususnya air yang mengalir ke Ciliwung. Saat hujan deras, air akan ditampung di bendungan dulu, lalu dialirkan ke Ciliwung.
Itu akan mengurangi debit air ke Pintu Air Manggarai dan Pintu Air Depok berkisar 12-14 persen. (RTS/INK/HLN)