Puncak, seperti Enggan Beranjak
Pembangunannya didasarkan sejumlah alasan logis Belanda dalam mengisi koceknya di wilayah pendudukan. Salah satu alasannya, kerugian akibat mahalnya ongkos angkut karena buruknya kondisi jalan. Perluasan lahan perkebunan kopi dan padi cenderung tak ekonomis.
Buruknya kondisi jalan di antaranya digambarkan anggota Dewan Hindia, Radermacher, yang mengelilingi Gunung Gede ditandu melewati Puncak Pass lalu ke Cianjur dan Sukabumi, dan balik ke Bogor dan Jakarta.
Ia menulis, ”Sekarang kami sudah mengelilingi gunung itu, tetapi yang kami lihat hanyalah kemiskinan dan penderitaan. Pegunungannya pun sepertinya selalu dalam kondisi seperti itu sehingga saya tidak bisa sekalipun merekomendasikan perjalanan ini kepada siapa pun.” (Klaberen, The Dutch Colonial System in the East Indies, 1983)
Perjalanan itu terkait perkebunan kopi di tanah Sunda (Priangan-coffee) yang mulai dipromosikan Belanda, 1710-1720. Klaberen menyebut, dikenalkannya komoditas kopi membuat Priangan bisa berkompetisi dengan Ceylon (Sri Lanka) pada akhir abad ke-18 dan membuat VOC kian memperketat kontrolnya atas wilayah itu.
Potensi perkebunan kopi itu sedemikian besar hingga membuat kawasan itu jadi pemasok penting sekalipun menghadapi beratnya medan. Itu masih ditambah budaya bercocok tanam penduduk lokal yang saat itu cenderung lebih dekat sebagai petani dengan sawah dan ladang.
Tahun 1830, sistem tanam paksa dengan sejumlah komoditas dikenalkan Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch. Kewajiban menyediakan seperlima lahan atau seperlima hari setahun untuk bekerja dengan komoditas wajib, seperti kopi, berlaku pula di Priangan.
Adapun Jalan Raya Pos seperti disebut di muka, dibangun dengan memperlebar jalan desa. Namun, tantangan terberat muncul pada segmen Cisarua- Cianjur lewat Megamendung.
Ruas itu membutuhkan 400 pekerja dari Jawa. Itu bagian terbesar jumlah orang yang dipekerjakan dari total 1.100 pekerja yang dikerahkan membangun jalan mulai Bogor ke Cirebon.
Potensi besar kawasan itu sebagai perkebunan berlanjut hingga abad ke-20. Belakangan, didirikan perkebunan Gunung Mas yang membudidayakan teh di Kecamatan Cisarua. Perkebunan itu mulanya terdiri atas perkebunan Gunung Mas dan Cikopo Selatan sebelum digabung jadi perkebunan Gunung Mas (1972) dan kini di bawah pengelolaan PTPN VIII.
Perkebunan Cikopo Selatan, menurut Rury Kurnia Herlita (2008), beroperasi 1912 di bawah perusahaan Jerman, NV Cultur Tjikopo Zsuid, sebelum diambil alih Belanda (1949). Adapun perkebunan Gunung Mas mulai beroperasi 1910 oleh perusahaan Perancis, Goenoeng Mas Prancoise Nederlandise de Culture Etde Commerse, sebelum diserahkan ke perusahaan Belanda, NV Tiedeman K van Kerchem (1954).
Sejumlah catatan menyebut, sepanjang 1950-an hingga 1960- an, keasrian Puncak dengan ruang terbuka hijau mudah ditemukan. Pembangunan berbagai jenis penginapan, termasuk vila dan hotel, pun dimulai 1970-an.
Diserbu
Sejak itu, kawasan Puncak di Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, dan Kecamatan Ciawi, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, menjadi magnet warga Jakarta untuk pelesiran. Jalur sekitar 22 kilometer berkontur menanjak, membentang mulai
Simpang Gadog hingga Puncak Pass, dipenuhi penginapan, rumah makan, dan bisnis lain.
Pengunjung menyerbu Puncak. Bahkan, saat jalur menuju Puncak Pass dan Cianjur ditutup di Gunung Mas menyusul longsor, Senin (5/2). Samsuar (38), wisatawan bersama enam anggota keluarga, Jumat (16/2), adalah salah satunya. Ia tetap melaju hingga kawasan agrowisata Gunung Mas. Padahal, selepas Gerbang Tol Ciawi, setidaknya ada tiga lokasi pengumuman ihwal penutupan jalur.
Sekalipun menuju kawasan atas setelah pendakian Gunung Mas dibatalkan, Samsuar tak kecewa. Ia berhenti di pelataran luar agrowisata Gunung Mas. Mereka menggelar alas di atas aspal lalu makan bersama.
”Terakhir (ke Puncak) dua bulan lalu. Cari suasana saja,” ujar Samsuar yang sehari-hari berdagang di Kemayoran, Jakarta Pusat. Ia sudah 17 tahun tinggal di Jakarta, merantau dari Pariaman, Sumatera Barat.
Bagi dia, kawasan Puncak semacam pelarian dari penat dan panas Jakarta. ”Macet tidak apa-apa. Tibo di ateh (tiba di atas) hilang capeknya,” katanya.
Meniru Belanda
Peneliti Pusat Penelitian Sumber Daya Regional LIPI, Saiful Hakam, yang mendalami kajian sejarah, mengatakan, pola rekreasi dan keputusan membangun vila dan berbagai jenis penginapan di Puncak adalah duplikasi kebiasaan bangsa Belanda. Konsep pelesiran orang Belanda dalam mencari kawasan berhawa sejuk dilakukan untuk mendekatkan diri dengan kondisi negara asal mereka.
Pusat pemerintahan di Jakarta yang berhawa panas dan lembab membuat kerinduan pada kesejukan membesar. Tempat peristirahatan dibangun senyaman mungkin, seperti bungalo atau vila di kawasan dataran tinggi.
Konsep itu ditiru. Penirunya sebagian individu berkemampuan finansial tinggi. Tak lupa, sejumlah institusi negara ataupun swasta yang membangun wisma atau rumah peristirahatan dan pusat pendidikan dan latihan di kawasan Puncak.
Bangunan dengan sejumlah fungsi itu relatif mudah ditemukan di sepanjang Jalan Raya Puncak. ”Ini konsep tetirah (sebagian orang) setelah kerja keras,” ujar Saiful.
Mengenai keberadaan vila dan bungalo milik pribadi di Puncak yang kian sesak, dinilai Saiful, sebagai cara orang berduit yang cenderung tak punya gagasan bagaimana menggunakan uang untuk pelesiran. ”Sebagian tak punya kreativitas mengekspresikan kekayaan. Sekadar mengikuti kebiasaan Belanda,” katanya.
Waktu terus bergerak. Namun, cara manusia memperlakukan Puncak hampir tak beranjak. (INGKI RINALDI)