Selasa (20/2) dini hari, cetakan beton salah satu tiang penyangga jalan layang Tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu (Becakayu) ambrol saat pengecoran. Tujuh pekerja terluka.
Pagi harinya beredar di media sosial bahwa tiang penyangga tol yang jatuh. Bermacam komentar muncul, hingga pembangun mengklarifikasi apa yang sebenarnya terjadi dan meminta maaf.
Hari yang sama, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menyerukan penghentian sementara semua proyek jalan layang (elevated). Di Jakarta, manajemen proyek pembangunan jalur kereta ringan (LRT) fase 1 Velodrome-Kelapa Gading panik karena esok hari jadwal menaikkan 15 gelagar.
Komunikasi Gubernur DKI Anies Baswedan dengan Menteri PUPR Basuki Hadimuljono membuahkan hasil, LRT fase 1 ada pengecualian, tetapi dengan pendampingan. Lega tentunya. Sedari awal, Presiden Joko Widodo meminta proyek fase 1 selesai bersamaan dengan perhelatan Asian Games 2018, medio Agustus.
Insiden itu sudah kesekian kali dalam hitungan kurang dari tiga bulan. Bahkan, ada yang meninggal. Lalu, kenapa terus terjadi? Salah satu analisis, karena berlebih proyek. Demam infrastruktur. Rentetannya adalah kesiapan sumber daya manusia, peralatan, hingga kejar tayang.
Itu barangkali asumsi. Yang pasti, pembangunan infrastruktur nasional adalah salah satu gagasan Presiden Jokowi. Para operator lapangan tahu ke mana menuju, tetapi melakukan sejumlah kegagalan dalam prosesnya. Namun, mereka bekerja nyata.
Di level dunia, awal Februari ini, dunia keantariksaan dihebohkan mobil listrik Tesla Roadster yang mengorbit di luar angkasa. Adalah Elon Musk, miliarder yang juga pemilik perusahaan penerbangan antariksa SpaceX, di balik misi mahal dan berkali-kali gagal itu. Gagasannya diwujudkan kerja nyata.
Sejak kecil, Elon yang dibesarkan di Afrika Selatan tergila-gila dengan imajinasi dan teknologi. Tak ada kamus menyerah dalam dirinya, termasuk mewujudkan visi penjelajahan manusia antarplanet. Orang-orang terdekat menyebutnya gila, super-ambisius, keras kepala, tanpa basa-basi. Sekaligus hormat kepadanya.
Merintis pembangunan roket pendorong wahana antariksa Falcon Heavy tahun 2011, ia investasikan puluhan juta dollar AS dari saku pribadinya. Berulang kali gagal, ia nyaris bangkrut dan miskin. Namun, ia terus maju. Ia tahu ke mana menuju.
Ia percaya pada kemampuannya, kepada para operator lapangan, yakni para manajer dan insinyur pilihannya, yang didukung iklim bisnis dan inovasi di Amerika Serikat. Ia yakin pada gagasannya sehingga ia perjuangkan mati-matian dalam arti sesungguhnya. Sakit parah tak mengalahkannya.
Orang-orang yang mengenalnya tak heran pada pencapaian roket-roket SpaceX, termasuk ide gila mengorbitkan mobil listrik Elon seharga Rp 3 miliar. Dan, akhirnya sukses.
Visi kuat, imajinasi, dan kerja nyata yang terkawal barangkali itulah kunci sukses perjalanan Elon dan SpaceX sejauh ini. Kegagalan, termasuk sejumlah insiden pada proyek di Tanah Air, adalah risiko bekerja. Tentu layak dibarengi evaluasi serius.
Kejelasan arah tujuan pembangunan juga dibutuhkan warga dan kota Jakarta, ibu kota negara. Sudahkah? Anda, warga Jakarta, yang merasakannya.