Penutupan sebagian Jalan Jatibaru Raya dimulai sejak 22 Desember 2017. Ruas jalan yang ditutup sepanjang sekitar 400 meter itu terletak di depan Stasiun Tanah Abang. Kendaraan pribadi dilarang melintas di ruas jalan itu pada pukul 08.00-18.00. Di luar jam tersebut, Jalan Jatibaru dapat dilewati kembali oleh kendaraan pribadi.
Di satu sisi, penutupan membawa hal positif mengingat satu jalur disediakan bagi ruang berdagang pedagang kaki lima (PKL) untuk mendukung perekonomian rakyat. Satu jalur lain digunakan untuk akses bus gratis transjakarta yang bermanfaat memudahkan warga berkeliling kawasan perdagangan Tanah Abang.
Meski demikian, tak bisa dimungkiri bahwa kebijakan tersebut juga berhadapan dengan kendala lain. Hal ini terungkap dalam hasil jajak pendapat Kompas pada awal Februari lalu. Warga memberikan respons beragam atas penutupan Jalan Jatibaru.
Tujuh dari 10 responden berpandangan, penutupan jalan di dekat Stasiun Tanah Abang itu relatif membebani mobilitas pengguna jalan dan warga sekitar. Warga yang tinggal di sana terkendala akses masuk-keluar karena terhalang deretan PKL di badan jalan. Mereka harus keluar rumah sebelum pukul 08.00 atau kembali ke rumah setelah waktu penutupan jalan selesai.
Waktu tempuh di ruas jalan ini pun menjadi lebih lama karena harus memutar lebih jauh atau mencari jalan alternatif. Berangkat dari kondisi tersebut, dua dari lima responden berpendapat, penutupan Jalan Jatibaru berimbas pada peningkatan kepadatan lalu lintas dari Jalan Fachrudin sampai dengan Tomang dan Slipi.
Dinas Komunikasi dan Informasi DKI Jakarta mencatat, dari analisis Waze, jumlah laporan lalu lintas mengenai kemacetan di sekitar Tanah Abang pada minggu kelima meningkat 28 persen dibandingkan minggu keempat pasca-penataan. Laporan kemacetan tinggi terjadi di Jalan Cideng Timur, jalan layang Cideng, dan Jalan KH Mas Mansyur. Adapun laporan kemacetan tidak bergerak meningkat di Jalan Mas Mansyur (Kompas, 30/1).
Namun, sekitar 14 persen responden berpendapat sebaliknya. Penutupan sebagian Jalan Jatibaru Raya dinilai berdampak positif mengurangi kemacetan. Pendapat ini sejalan dengan evaluasi Pemprov DKI, 9 Februari lalu, yang menunjukkan, jumlah laporan lalu lintas turun 7 persen dibandingkan minggu keenam penataan. Jumlah ini juga menurun 38 persen dibandingkan periode sebelum penataan (Kompas, 15/2).
Akses transportasi
Respons beragam juga dikemukakan warga dalam hal kemudahan akses transportasi. Sebelum penutupan, Jalan Jatibaru Raya dilewati lima rute angkot. Setelah penutupan jalan, angkot harus mencari rute alternatif.
Sekitar enam dari 10 responden berpandangan bahwa akses kendaraan umum ke Tanah Abang menjadi lebih sulit sejak penutupan jalan tersebut.
Pendapat berbeda dinyatakan sekitar seperlima warga lainnya. Dari seperlima warga itu, 11 persen beranggapan, penutupan jalan tidak berdampak pada pengguna jalan. Hal senada diungkapkan 10 persen responden yang menilai akses di kawasan Tanah Abang sekarang cukup mudah.
Sebelumnya, warga pengguna kereta komuter harus berjalan kaki jika akan berbelanja di Blok A, B, ataupun G. Sejak penutupan jalan, pemerintah menyediakan bus Tanah Abang Transjakarta Explorer gratis.
Untuk mengurangi kemacetan, mayoritas responden (60 persen) mengusulkan akses Jalan Jatibaru kembali dibuka. Hal yang sama juga menjadi rekomendasi Ditlantas Polda Metro Jaya dan Ombudsman Republik Indonesia. Bahkan, Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek memberi saran untuk mengevaluasi ulang penataan.
Bagian kecil responden berharap akses angkutan umum ke Jalan Jatibaru dibuka kembali. Awal Februari lalu, Pemprov DKI memperbolehkan angkutan umum beroperasi kembali di Jalan Jatibaru, bergantian dengan bus Transjakarta Explorer.
Adapun warga setempat yang terganggu aksesibilitasnya berharap pemerintah bisa segera menyelesaikan penataan kawasan Tanah Abang secara menyeluruh tanpa harus menutup akses jalan yang ada.