Putus Rantai Kecelakaan Saat Ini Juga
Dalam empat kecelakaan kerja konstruksi dua bulan terakhir di Jakarta saja lima orang tewas dan sejumlah orang terluka.
Hingga Jumat (23/2), misalnya, penyelidikan penyebab ambrolnya cetakan beton kepala kolom Tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu (Becakayu) di Jakarta Timur pada Selasa (20/2) masih belum selesai. Insiden ini menyebabkan Sarmin (45) dan keenam rekan kerjanya terluka.
Yang terkuak di luar kemungkinan ada kesalahan teknis, sistem kerja di proyek konstruksi ini juga dipertanyakan. Para pekerja di proyek Tol Becakayu paling sedikit bekerja 8-10 jam setiap hari. Salah satu pekerja, Dede (44), mengatakan, jadwal hariannya pukul 08.00-16.00 di proyek Tol Becakayu. Ia membuat bekisting (cetakan beton) untuk kepala kolom tol. Ia baru bekerja selama satu bulan sebelum insiden kepala kolom ambrol. Pekerja lainnya, Jeki (28), jadwal kerjanya pukul 07.30-17.30 setiap hari. Para pekerja diperbolehkan pulang ke mes setelah jam kerja selesai.
Jika ada pekerjaan yang menuntut harus dikerjakan di luar jam kerja, para pekerja istirahat dulu selama beberapa jam sebelum lanjut bekerja. Menurut Dede, dalam dua minggu terakhir sebelum insiden, ia lembur 5-6 kali.
Pekerjaan cor, seperti saat insiden terjadi, tidak mengenal waktu. ”Kapan pun itu, bisa pagi, siang, atau malam. Kalau kayu bekisting sudah siap, ya, dicor,” katanya.
Pekerja lain, Sarmin (45), mengatakan, dirinya bekerja pukul 08.00-18.00 pada Senin pagi menjelang insiden. Setelah istirahat empat jam, ia kembali bekerja pada pukul 22.00. Dini harinya, Selasa, bekisting kepala kolom yang ia cor ambrol.
Sarmin menceritakan, jika lembur hingga pagi, tidak ada peraturan yang menentukan pekerja langsung mendapat libur. Para pekerja menentukan sendiri kapan mereka tidak masuk kerja. Dengan sistem kerja harian, mereka tidak mendapat upah ketika tidak masuk kerja untuk istirahat. ”Biasanya saya masuk (lagi) siang. Jadi dihitung kerja setengah hari,” katanya.
Jika lembur dikerjakan hingga pagi, besaran uang lembur yang diterima oleh pekerja adalah sebesar upah satu hari. Upah para pekerja konstruksi ini Rp 80.000-Rp 85.000 per hari. Upah diserahkan kepada pekerja dua minggu sekali oleh wakil mandor. ”Mandor tidak pernah datang, uangnya diberikan wakil mandor yang dapat transferan dari mandor,” kata Jeki.
Wahoyo (40), adik Sarmin, pekerja proyek strategis nasional (PSN) Jalan Tol Ciawi-Sukabumi, Jawa Barat, menceritakan situasi kerja yang lebih kurang sama. Menurut dia, mandor memegang peranan penting. Sebab, sebagai kuli harian lepas, ia secara praktis ”bekerja” kepada mandor. ”Mereka mandor borongan,” kata Wahoyo saat menunggu kakaknya yang dirawat di Rumah Sakit UKI Cawang.
Di sisi lain, pada tingkat dasar, keselamatan para pekerja telah dijaga. Sarmin mengatakan, setiap bekerja, perlengkapan yang wajib dipakai meliputi helm atau topi keras, rompi, sepatu, dan sarung tangan. ”Kalau tidak pakai, tidak boleh kerja,” kata Sarmin.
Petugas keamanan dan keselamatan (safety) hadir mendampingi di setiap pekerjaan yang dilaksanakan di proyek-proyek itu. ”Kalau (petugas) safety, mereka pakai helm merah. Pekerja biasa helm kuning,” kata Jeki.
Sarmin mengatakan, para petugas safety memeriksa dan memperbolehkan pekerjaan untuk dimulai. ”(Sebelum kepala kolom ambrol) Petugas safety hadir di tempat dan sudah mengecek pekerjaan,” katanya.
Mereka juga ada rapat terkait kerapian kerja setiap Jumat.
Budaya keselamatan kerja
Saat ini, ada 245 proyek yang masuk dalam PSN digarap pemerintah pusat yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2017 tentang PSN. Di satu sisi, PSN mampu mendongkrak percepatan pembangunan dan memicu perputaran ekonomi serta pasti mengatasi ketertinggalan selama ini.
Namun, serangkaian kecelakaan kerja yang mengikuti terus terjadi. Secara nasional, dalam dua tahun terakhir hingga awal 2018 ini telah terjadi 14 kecelakaan kerja konstruksi.
Dalam diskusi bertajuk ”Proyek Infrastruktur: Antara Percepatan dan Pertaruhan” di Jakarta Pusat, Sabtu (24/2), Ketua Masyarakat Infrastruktur Indonesia Harun Alrasyid Lubis mengatakan, jumlah proyek terlalu banyak, waktu dan sumber daya manusianya terbatas.
”Ini sangat sistemis. Mulai dari perencanaan, kelayakan, lalu kebijakan, hingga pembuatan keputusan,” katanya.
Harun menyatakan, masih banyak pekerja proyek yang tidak peduli akan keselamatan kerja. ”Budaya keselamatan kerja kita minus,” ujarnya.
Guru Besar Bidang Manajemen Konstruksi Universitas Pelita Harapan Manlian Ronald A Simanjuntak yang juga narasumber pada diskusi yang sama mengatakan akan pentingnya sertifikasi para pekerja proyek. Bahkan, ia menegaskan, sertifikasi itu harus diterapkan hingga tingkat mandor.
Selama ini, pengawas untuk sertifikasi adalah Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional (LPJKN). Nantinya, LPJKN memberikan sertifikasi kepada asosiasi profesi jasa konstruksi. ”Seberapa banyak yang tersertifikasi. Proses itu harus dicermati,” ucapnya.
Aturan dan petugas
Masih dari diskusi, Wakil Ketua Komisi VI DPR dari Fraksi Demokrat Azam Azman Natawijaya setuju penghentian sementara proyek konstruksi setelah serentetan kecelakaan.
”Perbaiki prosedur sampai semua pihak mampu menjalankan kaidah yang benar. Baru proyek bisa dijalankan lagi,” kata Azam, dalam diskusi.
Manlian tidak setuju pada keinginan Azam. Ia beranggapan, pemerintah telah berinvestasi dengan uang yang cukup banyak pada berbagai proyek yang sudah direncanakan. Bagi Manlian, hal yang paling penting ialah melakukan pengawasan terhadap penggarapan proyek-proyek strategis nasional itu.
”Dihentikan sementara tak apa-apa. Tetapi, jangan terlalu lama. Penundaan berarti banyak uang terbuang percuma. Padahal, investasi sudah diguyurkan dan para pekerja tetap harus dibayar,” kata Manlian.
Harun justru mempertanyakan kepada pihak DPR, dengan adanya peraturan terkait kerja konstruksi, mengapa kecelakaan kerja masih mungkin terjadi. Ia menyatakan bahwa yang diatur dalam peraturan konstruksi itu masih pada tataran hulu.
”Saya merasa Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi masih berjalan di luar rel. Persoalan yang diurus masih pada hulunya saja, seperti sertifikasi. Padahal, manajemen pengerjaan konstruksi itu harus juga dilalui tahapannya dengan benar,” kata Harun.
Di luar masalah manajemen dan aturan, ada persoalan penting lain. Jumlah petugas pengawas maupun penyelidik saat kasus kecelakaan terjadi ternyata amat terbatas. Hal ini khususnya terjadi di luar Komite Keselamatan Konstruksi.
Kepala Komite Nasional Keselamatan Transportasi Soerjanto Tjahjono menyatakan, tidak di semua kasus kecelakaan konstruksi pihaknya bisa turut membantu menyelidiki karena terbatasnya petugasnya.
”Petugas labfor terbatas, sementara kasus banyak. Antreannya panjang, jadi sabar, ya,” kata Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Raden Prabowo Argo Yuwono.
Pengungkapan penyebab pasti setiap kecelakaan pun memakan waktu cukup lama dan berimbas pada evaluasi, pemberian sanksi, proses hukum, dan tentunya penerapan perbaikannya. Untuk itu, solusi menyeluruh diperlukan guna memutus rantai berulangnya kecelakaan konstruksi. (JOG/HLN/DD16/DD17)