JAKARTA, KOMPAS — Hingga Minggu (4/3), Polres Metro Jakarta Pusat belum menangkap tersangka pengeroyokan dan perusakan mobil oleh kerumunan pengemudi ojek daring di terowongan Senen, Jakarta Pusat.
Polisi baru mendapatkan keterangan dari delapan saksi. Saksi-saksi itu adalah tiga penumpang mobil dan lima pengojek daring. Semuanya masih berstatus saksi. Polisi masih memburu para tersangka yang aksi brutal mereka terekam dalam foto dan video yang beredar viral di media sosial.
”Semuanya masih saksi. Pihak perusahaan mitra aplikasi juga sudah bertemu dengan kami, tetapi sifatnya baru koordinasi,” ujar Kepala Polres Metro Jakarta Pusat Komisaris Besar Roma Hutajulu, Minggu.
Terkait aksi para pengojek daring itu, pengamat kebijakan transportasi yang juga Ketua Forum Warga Kota Jakarta (Fakta) Azas Tigor Nainggolan mengatakan, pemerintah harus turut menjerat dan memberikan sanksi tegas kepada perusahaan aplikasi ojek daring.
Tigor menilai, kekerasan atau persekusi oleh pengojek daring sudah kerap terjadi. Menurut dia, salah satu penyebabnya adalah perusahaan lalai membina dan mengawasi mitra ojek daring.
”Sanksi tegas juga harus diterapkan kepada perusahaan aplikasi ojek daring supaya ke depan pengojek bisa makin tertib di jalan raya serta menghormati pengguna jalan raya lainnya,” ujar Tigor.
Fakta meminta polisi segera menangkap dan memberikan sanksi tegas kepada pengojek daring yang terbukti menganiaya dan merusak mobil Nissan X-Trail yang di dalamnya berisi tiga orang di terowongan Senen, Rabu lalu. Kekerasan dan tindakan brutal para pengojek ini dinilai sama dengan geng motor atau preman.
Pengemudi ojek daring yang melakukan penganiayaan dan perusakan pada mobil bisa dituntut tindak pidana pengeroyokan di depan umum, yaitu Pasal 170 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Berkembang liar
Di sisi lain, perkembangan usaha ojek daring makin liar meskipun pemerintah tidak bisa meregulasi karena ojek bukanlah alat transportasi umum.
Tigor menyebutkan, selama ini sikap pemerintah tidak tegas, apakah menolak atau mengakui keberadaan ojek daring. Selama ini ,ojek daring terus berkembang dan beroperasi liar tanpa aturan dan pengawasan.
Keleluasaan tanpa regulasi itulah yang dinilai membuat mereka nekat melakukan aksi anarki dan brutal. Fakta mendorong pengojek daring diregulasi supaya ada ruang untuk pengawasan dan penindakan terhadap pengojek yang melanggar hukum.
Di lapangan, pengemudi ojek daring merasakan penurunan pendapatan cukup besar akibat berkurangnya jumlah insentif yang diberikan perusahaan. Jumlah pengemudi pun membeludak sehingga pasar setiap pengojek makin terbatasi.
Adi (32), pengemudi ojek daring mitra dari Grab, mengatakan, pendapatannya saat ini jauh lebih sedikit dibandingkan dua tahun lalu. Pada 2016, pendapatan kotornya sebagai pengemudi ojek daring Rp 7 juta-Rp 8 juta per bulan.
”Hampir setahun terakhir pendapatan saya Rp 3,5 juta setiap bulan,” kata Adi yang ditemui di sekitar Stasiun Palmerah, Minggu siang.
Berkurangnya pendapatannya ini, lanjut Adi, bukan disebabkan sedikitnya penumpang yang memesan jasanya, melainkan karena berkurangnya jumlah insentif dari perusahaan aplikasi.
Setahun lalu, menurut Adi, setiap 10 pemesanan yang diterima, pengemudi ojek daring akan menerima insentif Rp 80.000, kini sistemnya berubah. Insentif diberikan berdasarkan jumlah uang yang dihasilkan pengemudi daring.