JAKARTA, KOMPAS — Transparansi dokumen reklamasi soal pencabutan sanksi terhadap pengembang di pulau reklamasi C, D, dan G digugat dalam sidang Komisi Informasi Pusat. Majelis Komisi Informasi Pusat memerintahkan pembukaan karena dokumen itu tidak termasuk dokumen yang dikecualikan.
Gugatan diajukan Nelson Nikodemus Simamora sebagai pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) terhadap Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. ”Keterbukaan ini penting agar kebijakan-kebijakan yang banyak ditentang nelayan dan warga pantai utara itu transparan dinilai warga,” ujarnya, Kamis (8/3).
Dokumen-dokumen itu akan digunakan sebagai bahan penelitian ataupun pembelaan terkait isu reklamasi yang bergulir.
Sidang berlangsung di Kantor Komisi Informasi Pusat (KIP), Jakarta Pusat, Kamis (8/3), dipimpin ketua majelis KIP Hendra J Kede dan anggota majelis Wafa Patria Umma dan Arief Kuswardono.
Ada empat poin dalam gugatan itu. Poin pertama adalah keputusan Menteri LHK yang memperpanjang keputusan Menteri LHK Nomor SK 354 Tahun 2016. SK itu tentang pengenaan sanksi administratif paksaan pemerintah berupa penghentian sementara seluruh kegiatan PT Kapuk Naga Indah Pulau C dan D dan diperpanjang untuk ketiga kalinya.
Poin kedua ditujukan pada SK 355 Tahun 2016 terhadap PT Muara Wisesa Samudra pada Pulau G yang diperpanjang tiga kali.
Adapun poin ketiga dan keempat dalam gugatan meminta keterbukaan informasi terhadap seluruh laporan hasil pelaksanaan perintah diktum kedua keputusan menteri itu.
Masa penyelesaian kewajiban yang disyaratkan dalam dua SK itu sempat diperpanjang dua kali, yaitu pada 5 Oktober 2016 dan 29 Desember 2016.
Dalam persidangan itu disebut, dua surat keputusan penghentian reklamasi itu sudah dicabut. Pencabutan penghentian kegiatan itu karena dua pengembang sudah menuntaskan sebelas perintah yang diwajibkan.
Keputusan terhadap SK 354 Tahun 2016 pada PT Kapuk Naga Indah di Pulau C dan D dicabut dengan SK Nomor 499 Tahun 2017. Adapun SK 355 Tahun 2016 terhadap PT Muara Wisesa Samudra dicabut dengan SK Nomor 537 Tahun 2017.
Nelson mengatakan, saat meminta informasi dalam gugatan, Kementerian LHK hanya memberikan surat berisi keterangan pencabutan surat dan SK pencabutan.
Surat juga berisi keterangan pemberitahuan bahwa seluruh kewajiban PT Kapuk Naga Indah sudah diselesaikan sebanyak sebelas kewajiban. Surat tersebut bertanggal 4 Oktober 2017.
”Katanya seluruh sebelas kewajiban itu sudah dituntaskan pengembang. Namun, hanya keterangan itu saja, sedangkan yang kami inginkan adalah laporan-laporan perkembangannya, apa saja sebenarnya yang sudah dilakukan. Kalau tidak salah, setiap dua pekan ada laporan,” tutur Nelson.
Tak dikecualikan
Kuasa Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Yudi Ariyanto, mengatakan, surat mengenai perpanjangan surat keputusan-surat keputusan yang dimaksud itu memang tidak pernah ada. ”Yang ada adalah perpanjangan waktu bagi pengembang untuk menunaikan sebelas kewajibannya itu,” ucapnya.
Menurut Yudi, dokumen-dokumen yang diminta itu memang tidak termasuk dokumen yang dikecualikan sehingga informasinya terbuka untuk publik. Hanya saja, saat permintaan informasi diajukan, dokumen-dokumen itu masih disusun.
”Jadi, saat diminta, belum bisa diberikan. Ini, kan, soal tata usaha negara,” katanya.
Ketua majelis KIP Hendra J Kede menyatakan heran karena informasi itu bukan informasi yang tak dikecualikan atau terbuka. Namun, dibawa ke persidangan KIP.
Ia meminta informasi itu bisa langsung diberikan kepada pemohon. Akan tetapi, sesuai tahapan yang berlaku, setelah sidang itu, ia meminta Nelson dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melakukan mediasi. (IRE)