Hwa-Hwee yang Pernah Merajalela
Dari Hwa-Hwee, Pemda DKI Jakarta mendapatkan pemasukan pajak sekitar Rp 300.000 per hari atau Rp 9 juta per bulan. Pajak itu menjadi salah satu modal pemerintah membangun Jakarta. Bahkan, Hwa-Hwee menyebar ke Karawang dan Cirebon, Jawa Barat. Di Cirebon sampai ada seorang kepala desa yang menghimpun warganya untuk bermain Hwa-Hwee.
Protes
Hwa-Hwee pun menuai protes. Sejumlah kalangan mahasiswa, organisasi politik, dan organisasi masyarakat meminta Gubernur DKI Jakarta melarang Hwa-Hwee. Menanggapi protes tersebut, Bang Ali mengajak berdialog. ”Bagaimana seandainya saudara-saudara menjadi Gubernur yang harus mencukupi dan harus memberikan pelayanan kepada masyarakat. Padahal, droping dari pusat hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan gaji dan beras pegawai saudara? Apakah saudara-saudara akan nrimo saja dengan hanya mengharapkan droping dari pusat tanpa mengembangkan usaha-usaha pemecahan masalah kemiskinan, sosial, pembangunan, pendidikan dan pelayanan yang layak kepada rakyat saudara?” ujar Bang Ali (Kompas, Rabu, 30 Oktober 1968, halaman 3). Bang Ali mengakui, kalau tidak terpaksa, Pemda DKI akan menjauhi cara menggali uang dari judi, khususnya Hwa-Hwee. Dia berjanji segera memberantas Hwa-Hwee liar yang menyalahi prinsip lokalisasi perjudian.
Jadilah petugas mengadakan penggerebekan dan penangkapan, seperti di Kwitang dan Bungur, Jakarta Pusat. Dalam penangkapan ini disita antara lain buku-buku, kupon Hwa-Hwee, dan uang. Sebanyak 11 bandar Hwa-Hwee liar ditangkap. Sekitar pertengahan 1968 pemerintah resmi menutup Hwa-Hwee. Jadi terngiang lirik lagu ”Karna Judi”, Muchsin Alatas, aku sengsara karena judi/ aku melarat karena judi/ banyak utangku karena judi/ judi yang membawaku mati....