Perputaran roda ekonomi Jakarta tidak hanya disokong oleh sektor formal, tetapi juga dari sektor informal seperti PKL.
Pesatnya modernisasi kota membuat eksistensi pedagang dengan lapak nonpermanen ataupun gerobak di pinggir jalan/trotoar itu terus termarjinalkan dan lekat dengan stigma mengganggu ketertiban, kumuh, dan merusak estetika kota. Padahal, banyak orang merasa terbantu oleh PKL. Harga dagangannya lebih murah. Selain itu, belanja di PKL pinggir jalan lebih mudah bagi konsumen.
Dinas Koperasi, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, serta Perdagangan DKI Jakarta memperkirakan ada 80.000 PKL di Jakarta. Jumlah itu terus meningkat dari waktu ke waktu. PKL yang terdata dan dibina oleh dinas baru sekitar 21.000, artinya selebihnya menjadi PKL ”liar”.
Hal ini dinilai memprihatinkan oleh warga Ibu Kota sebagaimana terekam dalam jajak pendapat Kompas. Mayoritas publik (90 persen lebih) menyatakan kekhawatirannya dengan makin banyaknya PKL.
Selain karena PKL cenderung mengokupasi trotoar dan mengganggu pejalan kaki, okupasi PKL kerap mengakibatkan ruas jalan menyempit dan memicu kemacetan. Beberapa bulan terakhir, PKL justru muncul lagi di beberapa wilayah yang sebelumnya telah steril. Kawasan Jatibaru, Melawai, Bendungan Hilir, dan Sudirman, misalnya, kini dipenuhi gelaran dagangan PKL.
Hampir semua responden sepakat jika pemerintah menata keberadaan pedagang di emperan jalan tersebut. Namun, tak mudah menata PKL di Jakarta.
Sesuai Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum, penertiban PKL wajib diikuti pembangunan lokasi binaan dan lokasi sementara bagi PKL liar, serta menjadikan PKL sebagai pedagang tetap di satu sarana perdagangan. PKL tidak boleh berdagang di trotoar, halte, badan jalan, juga tempat umum yang mengganggu ketertiban. Namun, pemerintah tidak tegas dan tetap saja PKL menjamur.
Lemahnya pengawasan aparat terhadap PKL dipandang oleh sepertiga bagian responden sebagai salah satu faktor semakin banyaknya jumlah PKL liar. Dalam banyak kasus, petugas giat melakukan pengawasan hanya di awal penertiban. Alhasil, PKL akan kembali berjualan saat petugas pergi. Petugas tidak bisa selamanya berjaga karena keterbatasan anggaran.
Tantangan
Harga sewa lapak resmi yang mahal turut menghambat penataan PKL, seperti yang diungkapkan sepertiga responden.
Bandingkan saja, harga kios resmi di Pasar Tanah Abang blok G mencapai Rp 65 juta per tahun. Sementara lahan pinggiran jalan di kawasan yang sama disewakan dengan harga Rp 500.000 hingga Rp 1 juta per bulan (Kompas, 14/11/2017).
Empat dari lima responden menyarankan pemerintah menyediakan lapak dengan harga murah di tempat legal. Namun, hal tersebut harus disertai kajian dan pertimbangan matang. Lapak resmi harusnya berada di lokasi strategis sehingga masih nyaman dijangkau konsumen dan dekat dengan lokasi lama.
Tak kalah penting, sebagian responden menuntut ketegasan pemerintah menetapkan larangan bagi PKL berdagang di tempat ilegal serta memberi pengawasan berkesinambungan. Ketegasan bisa berupa pemberian sanksi bagi PKL liar hingga konsistensi memberikan ruang berdagang bagi PKL. Publik berharap pemerintah bisa memberikan sosialisasi kepada PKL agar jangan berjualan sembarangan.
Merangkul PKL untuk direlokasi dan dibina memerlukan energi tidak sedikit. Diperlukan komitmen bersama antara pemerintah, PKL, dan masyarakat sebagai konsumen untuk ikut mewujudkan penataan PKL berkeadilan di ruang Ibu Kota.