JAKARTA, KOMPAS — Budaya sungai terus ditinggalkan, khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta. Itu di antaranya dipicu derasnya migrasi ke daerah aliran sungai yang berdampak pada alih fungsi lahan pertanian dan perkebunan menjadi permukiman membelakangi sungai.
”Di masa lalu, rumah (di pinggir sungai) dibangun menghadap sungai. Secara budaya, sungai itu penting bagi penghidupan dan dijaga kebersihannya,” kata profesor riset bidang sosiologi pada Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Henny Warsilah, Minggu (11/3).
Sungai sebagai prasarana transportasi yang bisa dilayari atau disusuri pun kini kian ditinggalkan. Di Jakarta, salah satu indikasinya adalah keberadaan getek dan perahu eretan sebagai sarana transportasi dan berbagai aktivitas warga pinggir sungai.
Kian menjauhnya manusia dari realitas sungai sebagai jalur mobilitas setidaknya terlihat di Kampung Tanah Rendah, Kampung Melayu, Jakarta Timur. Warga memilih menggunakan sepeda motor, bahkan untuk bepergian ke wilayah tetangga seperti Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan.
”Sekarang pada muter, naik motor kalau mau ke Bukit Duri. Dulu (naik getek) jalan pintas, dua menit nyampe,” kata Saroni (75) yang tinggal di Tanah Rendah sejak usia lima tahun. Saat itu, getek dan perahu eretan eksis digunakan untuk membuat tempe dan sebagai sarana transportasi antarkampung.
Vitalnya sepeda motor di antaranya terlihat dari lalu lalang di jalan selebar kurang dari 3 meter itu. Kepadatan permukiman juga kian kentara dengan sepeda motor yang diparkir di hampir seluruh bagian depan rumah warga.
Menurut Saroni, keberadaan getek di perkampungan itu punah pada 2012-2017. Belakangan, Maret 2017, sebuah getek kembali dibuat warga untuk mengakomodasi kebutuhan warga.
Akan tetapi, kebutuhan itu cenderung untuk buang air besar dan mencuci, bukan sarana transportasi. Getek dibangun atas inisiatif sebagian warga untuk memenuhi kebutuhan sejumlah pengontrak rumah. Itu menyusul ketiadaan sarana kakus di sebagian rumah kontrakan. ”Ada juga yang pakai MCK (umum), tapi jauh dan harus antre. Kalau di getek, kapan aja bebas dan tidak antre,” ujar Saroni.
Pengajar pada Program Studi Arsitektur Institut Teknologi Bandung, Sri Suryani, mengatakan, bersama sejumlah pihak, dirinya melakukan riset dokumentatif keberadaan getek di Kampung Tanah Rendah. Sebelumnya, getek digunakan sebagai sarana transportasi barang dari Bogor ke Manggarai, Jakarta.
Sri menambahkan, riset itu di antaranya penting untuk menambah kajian akademik di kelas-kelas perkuliahan tentang teknik dan penggunaan getek sebagai salah satu sarana hidup warga bantaran sungai. (INK)