JAKARTA, KOMPAS - Angka kebakaran yang cenderung meningkat di Jakarta, belum diikuti dengan penyediaan fasilitas mitigasi bencana yang memadai. Hidran yang rusak dan pasokan air yang minim menjadi salah satu persoalan.
Kepala Bidang Operasional Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan (DPKP) DKI Rahmat Kristianto mengatakan, dari 1.300-an hidran di Jakarta, 500 hidran tidak berfungsi baik. Petugas pemadam kebakaran tidak lagi mengandalkan hidran sebab pasokan air dari operator air perpipaan seret. Debit air hidran kecil seperti air di perumahan warga. Akibatnya, air sulit dimasukkan ke dalam tangki mobil karena tekanannya lemah.
"Sejak 10 tahun terakhir, kami tidak ada proyek hidran karena memang kami bangun percuma, tidak bisa dioptimalkan," kata Rahmat," Kamis (8/3).
Hidran yang bagus rata-rata berada di pusat kota yaitu Sudirman-Thamrin. Masuk ke wilayah pinggiran, terutama Jakarta Utara dan Barat yang angka kebakarannya tinggi, hidran justru banyak yang rusak. "Makanya sekarang kami lebih banyak mengandalkan sumber air alami dan selokan," kata Rahmat.
Ia mengakui, minimnya ketersediaan hidran ini menghambat upaya pemadaman. Namun, hal itu biasa disiasati dengan melokalisasi api supaya lebih efektif dipadamkan.
"Kami siasati juga dengan mengirim armada yang banyak meski kebakaran hanya satu rumah. Itu salah satu cara supaya tidak terjadi "tekor" air," ungkap Rahmat.
Karena kesulitan air untuk hidran itu, DPKP kini fokus dengan program tandon alami di perkampungan padat penduduk. Kendalanya, pembangunan tandon alami ini butuh lahan dengan status yang jelas. Di permukiman padat penduduk, sulit mendapatkan lahan kosong.
Suhery, Kepala Seksi Pengawasan Keselamatan Kebakaran DPKP DKI Jakarta, mengatakan, sesuai manajemen kebakaran, idealnya setiap kelurahan punya satu pos pemadam kebakaran. Saat ini, baru ada 73 pos dari total 267 kelurahan di Jakarta.
Dengan kekurangan yang dimiliki, masyarakat diajak menggunakan alat pemadam api ringan (apar). Apar diberikan swasta maupun dari pengadaan APBD di sejumlah kecamatan, meskipun juga belum merata.
Fasilitas di gedung
Gedung pencakar langit dengan ketinggian di atas 9 lantai masih banyak yang tidak memenuhi standar mitigasi kebakaran. Hal itu dilihat dari ketersediaan alat proteksi kebakaran seperti alarm kebakaran, akses petugas damkar, maupun manajemen keselamatan gedung seperti apar, hidran, maupun sprinkle. Dari 822 gedung yang dipantau DPKP, baru 72 persen memenuhi standar mitigasi bencana.
Kepala Pencegahan Kebakaran DPKP DKI Jakarta Jon Vendri mengatakan, 28 persen perusahaan yang belum memenuhi syarat mitigasi kebakaran itu sudah diberi surat peringatan (SP) 1. Mereka harus melengkapi persyaratan dalam jangka waktu satu tahun. Jika masih tak melengkapi, gedung akan ditempeli stiker peringatan. "Tahun 2018 ini, ada 87 gedung yang dalam tahap pengawasan dan pembinaan dari DPKP," kata Jon.