JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah-pemerintah daerah di sebagian wilayah Indonesia gagap saat harus langsung berhadapan dengan kekuatan modal raksasa berskala global dalam sejumlah proyek pembangunan kota baru. Dampaknya, terus membubungnya harga lahan dan urban sprawl yang sulit dihentikan.
Topik itu menjadi salah satu bahasan dalam diskusi ”The Economics of New Towns, Why They So Often Fails” yang diselenggarakan Universitas Tarumanagara (Untar) bersama Harvard Club of Indonesia dan Harvard Design School di Hotel Ritz-Carlton, Jakarta, Kamis (15/3).
Kenaikan harga tanah dan urban sprawl atau perkembangan kota yang cenderung kacau, tidak terencana, dan tersebar relatif ke segala arah itu terjadi dalam fase ketiga transformasi kota baru mulai 2007 hingga kini. Ini tercantum dalam riset ”30 Years New Town Development in Greater Jakarta” yang dipresentasikan Liong Ju Tjung (Untar) dan Dimitar Anguelov (UCLA). Penelitian terkait keterlibatan sektor swasta dalam pembangunan perkotaan itu dilakukan Center for Metropolitan Studies, Jurusan Perencanaan Kota dan Real Estat Untar.
Fase kedua transformasi kota (1998-2007) ditandai konsolidasi dan adaptasi pada pasar baru. Fase pertama (1984-1997) ditandai pembangunan wilayah kota skala besar oleh swasta dan krisis finansial di Asia pada 1997.
Kenaikan harga tanah secara signifikan terjadi pada fase ketiga transformasi kota baru. Harga tanah di sebagian Tangerang Selatan pada 2008 Rp 700.000 per meter persegi, pada 2016 menjadi Rp 5 juta per meter persegi.
Di sebagian lokasi dalam kawasan BSD City, lahan yang pada 2008 harganya Rp 4,9 juta per meter persegi, pada 2016 membubung jadi Rp 18,1 juta per meter persegi. Naiknya harga lahan yang terus terjadi ini disebabkan internasionalisasi standar dan koneksi global terhadap pembangunan kota-kota baru itu. Salah satunya dengan masuknya pemodal sekaligus kontraktor asing yang terlibat langsung dalam pembangunan di kawasan itu.
Ini membuat harga rumah di kota-kota baru semakin tidak terjangkau oleh masyarakat kelas menengah-bawah. Padahal, latar belakang pembangunan kota baru di Indonesia, dengan proyek skala besar, adalah harga tanah bisa dikontrol dan diatur sehingga cadangan tanah dapat tersedia serta mengurangi spekulasi lahan dan dimungkinkannya aplikasi konsep subsidi silang.
Akibatnya, menjamurnya pembangunan proyek perumahan skala kecil (0,5 hektar-5 hektar) di sekitar kota baru. Di Tangerang Selatan saja, pemerintah lokal telah menerbitkan lebih dari 450 izin pembangunan perumahan kecil di Serpong dalam satu dekade terakhir. Perumahan skala kecil itu menawarkan harga di bawah standar harga kota baru. Namun, tetap saja tidak seluruhnya terjangkau bagi mereka yang berkantong cekak.
Didorong regulasi
Dari diskusi dipaparkan juga bahwa persoalan penyediaan perumahan yang timpang ini didorong juga oleh diberlakukannya Undang-Undang Pemerintahan Daerah (UU Nomor 22 Tahun 1999, UU Nomor 32/2004, UU Nomor 23/2014). Dengan UU tersebut, kini perusahaan-perusahaan pembangun perumahan mesti beroleh rencana ihwal tata ruang dan izin pembangunan dari pemerintah daerah setempat.
Akan tetapi, di sisi lain, dengan regulasi baru itu, justru semakin memudahkan kontraktor perumahan mendapatkan izin pembangunan karena sering kali pemerintah lokal tidak memiliki kapasitas untuk mengevaluasi proyek secara utuh.
Direktur Jenderal Pembiayaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Lana Winayanti menyebutkan, yang menjadi permasalahan saat ini adalah kemampuan melakukan perencanaan yang masih kurang, terjadi di tingkat pemerintah daerah. Ini terkait dengan langsung berhadap-hadapannya pemerintah daerah, yang cenderung tanpa dukungan pemerintah pusat, dengan jaringan modal raksasa global.
”Makanya pemerintah (pusat) sekarang masuk dengan 11 kota baru. Jadi, kita bantu dalam masterplan dari Bappenas, rencana tata ruang dari Kementerian ATR/BPN, Kementerian PUPR dari infrastruktur dan development plan, sehingga pemerintah daerah akan lebih mudah mengikuti,” kata Lana.
Prof Richard B Peiser, terkait kebijakan pajak dalam pembangunan kota baru, menyebutkan, relevansinya terutama pada dorongan bagi perusahaan-perusahaan penyedia lapangan kerja untuk pindah ke kota baru. Akan tetapi, persoalannya, kerap terjadi kota-kota baru hanya menjadi bedroom community. Orang- orang di dalamnya hanya memakai kota itu sebagai tempat untuk tidur atau beristirahat.
”Kota baru yang sempurna adalah ketika hampir semua orang (warga) bekerja di dalam kota baru tersebut,” ujar Peiser.(INK)