JAKARTA, KOMPAS - Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan DKI membantah pihaknya kebobolan mengontrol keamanan makanan dan minuman kemasan yang beredar di masyarakat. Bantahan disampaikan menanggapi terungkapnya kasus beredarnya 96.080 produk impor kedaluwarsa di 96 usaha ritel dan sembilan usaha lainnya.
"Sampai sebelum kasus ini terungkap, petugas lapangan kami yang memeriksa produk dari distributor maupun dari usaha ritel resmi, belum menemukan makanan dan minuman kemasan yang kedaluwarsa," tandas Kepala Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) DKI Sukriadi Dharma, Rabu (21/3) malam.
Ia mengatakan, selain pemeriksaan fisik kemasan termasuk label batas kedaluwarsa, petugas BBPOM DKI juga mengambil isi contoh produk untuk diperiksa di laboratorium.
Akhir Februari lalu, Polres Metro Jakarta Barat membongkar kasus kepemilikan dan peredaran makanan serta minuman kemasan impor. RA (36) selaku Direktur PT PRS (perusahaan importir makanan, saus, dan minuman kemasan), serta dua kepala gudang yakni DG (27) dan AH (33), ditetapkan sebagai tersangka.
Menurut Kapolres Metro Jakarta Barat Komisaris Besar Hengky Haryadi, ketiganya bertanggung jawab terhadap peredaran barang kemasan impor kedaluwarsa di sejumlah supermarket, minimarket, restoran, termasuk restoran cepat saji di Jabodetabek, Bali, Sumatera, Kalimantan, dan Papua.
Sukriadi menambahkan, kini contoh produk yang ditempeli label perpanjangan batas kedaluwarsa sedang diperiksa Badan POM. "Kami butuh waktu tujuh hari untuk menguji mikrobiologinya." ucapnya.
Ia memastikan akan merekomendasikan pencabutan izin usaha impor PT PRS, apabila hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan produk kemasan tidak aman lagi dikonsumsi.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Ritel Indonesia (Aprindo) Tutum Rahanta, yang dihubungi terpisah semalam, mengingatkan, beredarnya produk yang rusak atau kedaluwarsa sampai ke tangan konsumen adalah tanggungjawab Badan POM. "Anggota kami hanya bertanggung jawab sebatas kondisi fisik kemasan dan kesesuaian barang yang diserahkan dengan kontrak, yaitu kontrak antara anggota kami dengan distributor," tandasnya.
Ia mengatakan, jika seorang pembeli membeli produk rusak, maka yang bersangkutan bisa mengembalikan produk dan mendapat pengganti produk yang sama, atau menerima kembali uang pembelian. "Kalau ternyata produk sudah dikonsumsi dan membuat pembeli yang mengonsumsi keracunan, maka itu bukan tanggung jawab anggota Aprindo, melainkan produsen dan atau distributor," ujar Tutum.
Ia yakin, pengelola minimarket, supermarket, maupun tempat usaha lain anggota Aprindo, teliti memeriksa batas kedaluwarsa setiap produk yang dijual di tempat usahanya. Sebab, hal itu sudah diatur dalam kontrak. "Demikian pula batas tanggung jawab kami dan mereka," lanjut Tutum.
Pada bagian lain, Sukriadi menjelaskan, cara mudah membedakan produk rusak dengan produk yang aman. "Beda warna, beda bau, beda rasa, dan kadang tampak busa, atau tampak noktah jamur berwarna hitam atau putih," ucapnya.
Pembeli bisa mengenali lebih cermat jika telah beberapa kali membeli dan mengonsumsi produk serupa.